SENANDUNG PETANI DESA

Semilir angin sore di antara hamparan padi nan hijau memberi aroma tersendiri untuk memekuri arti sebuah perjalanan. Teduh diantara hijaunya padi yang di tanam oleh aku dan kawan-kawan petaniku. Burung gereja berhamburan menari-nari di antara hijaunya padi yang masih menampakkan daunnya seolah menguji kesabaran burung untuk merasakan nikmatnya padi petani tradisional macam kami. Kadang aku ingin berteriak pada burung yang tidak mengerti apa-apa akan kehidupan manusia yang terlampau rumit, “hai burung-burung kenapa kalian tidak meminta beras kualitas satu untuk mengisi perutmu kepada petinggi negeri yang bingung menghabiskan harta mereka untuk apa? Kenapa kalian lebih memilih bersusah payah berebut padi dengan petani kecil macam kami? Kami sekoyong-koyong mengusir kalian jika kalian akan memangsa padi jerih payah kami yang ternyata tak juga cukup untuk menutupi kebutuhan anak dan istri kami. Bahkan kami buat orang-orangan sawah agar kalian takut memengsa hasil sawah kami. Kenapa?” namun sudahlah. Aku pikir itu adalah pertanyaan hati nurani yang aku sendiri tak tahu harus bagaimana menjawabnya.

Akulah petani kecil yang hidup di desa yang penuh dengan kepongahan. Bulan-bulan lalu kepala desaku mengundurkan diri karena ingin menjadi angota dewan yang lebih keren jabataanya ketimbang jadi kepala desa. Serta merta ia mengundurkan diri dari jabatannya. Mengumpulkan seluruh aparat desa yang telah menjadi bawahannya dulu untuk memuluskannya menjadi anggota dewan. Kami di suruh mencontreng beliau. Janji-janji itu ia umbar kepada kami. Sungguh aku sangat lelah pak! Aku sudah tidak percaya lagi dengan kata-kata bapak!! Aku pun melihat anakku tidak sepakat sama sekali dengan model kampanye bapak. Anakku yang tamatan SMA menjelaskan hal itu pada bapaknya yang petani ini. Aku lebih percaya anakkku itu pak!! Oh desa yang kehilangan pemimpinnya. Namun bagiku selama ini tak ada bedanya ada aatu tidak ada kepala desa.

Lalu BPD bak penyelamat bermusyawarah untuk mencari solisi dari prahara desa yang kehilangan pimpinan. Dengan musyawarah orang-orang tertentu akan diputuskan siapa yang menggantikan kepala desa yang telah sibuk kampanye sana sini. Ada dua calon. Pemilihan berlangsung tanpa huru hara. Sepi!!! Warga pun tidak bayak yang tahu. Entahlah maksudnya apa atau memang sengaja seperti itu. Aku tidak mengerti karena aku cuma rakyat kecil dan tidak terlalu paham akan aturan birokrasi yang sangat rumit. Aku sudah cukup pusing memikirkan nafkah untuk keluargaku. Dua calon itu ternyata bapak Eri dan bapak Samsul. Aku tidak tahu bagaimana proses pemilihan kepala desa yang ternyata aku dengar dimenangkan oleh bapak Eri. Aku lega sebagai warga karena desaku kini telah punya pemimipin baru walau hanya sekedar simbol tapi, seyidakkya aku tidak malu dengan teman-temanku yang berasal dari desa seberang. Aku sudah muak dengan kepala desa dulu yang sangat memalukan tingkahnya. Menjadi tahanan luar hanya gara-gara seorang perempuan. Ya Gusti….aku mohon ampun atas dosa-dosa kami……dengan partainya yang berhati nurani katanya, beliau berkicau siang malam. Terus menjejali kami dengan ribuan janji yang kami paksa dengarkan padahal dalam hati kami, mentertawakan beliau. Akhir dari kampanye selalu ditutup oleh warga dengan menggunjing beliau. Aku kasihan melihat beliau yang telah susah payah dan mengeluarkan rupiah yang tidak sedikit itu. Tapi memang, beliau memilih jalan hidup seperti itu. Menyedihkan sekali.

Pemilihan anggota dewan usai. Kekalahan memukul mantan kepala desaku. Sepi sekali rumahnya. Poster besar yang memampang fotonya telah dirobek-robek pemuda desa. Aku pun sudah sangat jarang melihat beliau hilir mudik dengan motornya. Entahlah….mendadak tak ada kabar atau beliau sekarang tinggal di istri yang lainnya? Aku tidak tahu.

Kemarin istriku membuka pembicaraan yang lagi-lagi mengecewakan, “pak, tahu tidak? Ternyata beliau bisa menang mengalahkan bapak Samsul karena uang sekian rupiah telah menjadi pelumasnya” istriku bercerita sambil terus menggoreng ikan hasil tangkapanku melaut.
“hus!!! Ibu…. Hati-hati kalau bicara. Jika tidak punya bukti itu fitnah namanya bu….Gusti Allah tidak suka dengan jenis manusia tukang fitnah,” aku menasihati istriku sambil menyeruput teh buatannya.
“bener pak! Ibu tidak bohong. Kemarin ibu main ke rumah istri ketua BPD yang sedang kesal dengan suaminya. Beliau menanyakan uang pelican yang tak juga singgah ke kantongnya. Padahal sudah jelas-jelas ibu ada di sana. Eh, si istri kepala BPD bilang, aku sih blak-blakkan saja sama ibu’. Gitu katanya pak!!” istriku terus bercerita
“lalu apa yang bisa kita lakukan dengan tahu hal itu bu?....” aku bertanya pada istriku.
Istriku diam. Aku pun diam. Kami sama-sama tidak tahu apa yang harus kami lakukan. Rasanya kami melihat diri kami sendiri yang lagi-lagi dibohongi mereka yang pandai itu. Aku hanya bisa mengelus dada dan istrigfar, ASTAGFIRULLAHHALADZIM…..
Aku pandang langit yang biru. Gusti Yang Kuasa masih memberi kami kebahagiaan dengan tidak mengizinkan aku dan kawan-kawan petaniku terbius oleh kekuasaan macam beliau. Alhamdulillah ya Gusti…

Aku tidak tahu harus berbuat apa untuk orang lain karena aku pun tergopoh-gopoh menyelamatkan perut anak istriku. Aku tidak tahu dengan cara apa aku mendedikasikan diriku untuk bangsaku karena aku tidak memiliki berupa-rupa kepandaian. Aku hanya punya keahliah bercocok tanam yang masih sangat tradisional yang oleh kedua orang tua wariskan kepadaku. Setidaknya aku ingin mereka bisa makan nasi hasil sawah kami yang insyaallah barokah. Inilah pengabdianku untuk mengisi buku amalku untuk ku bawa pulang menghadapMu dengan menjadi pahlawan pangan yang tak pernah tertuliskan oleh tinta emas sejarah manapun. Aku hanya petani kecil yang hanya mampu berlaga di depanMu dengan tahajud dan shaum sunnahku. Jika mereka berlomba mencari kedudukan di dunia biar aku berlomba mencari kedudukan disisiMu Gusti Sing Kuasa…..
Matahari semakin indah di pandangan mataku. aku menangis. Petani sepertiku pun bisa menangis. Aku menangis karena masih juga di beri kesempatan memperbarui tobat. Yah, tiga hari yang lalu saat aku melaut dengan seorang pemuda sampanku terbalik. Untung mesin 4 PK tak tenggelam. Itu harta milik keluargku yang sangat berharga. Di tengah gelapnya malam aku bergelut dengan kematian. Mengingat Engkau Gusti…..rasanya kematian itu tinggal satu centimeter lagi aku gapai saat itu. Aku berenang. Sekuat tenaga membalikkan sampan ke posisi semula dengan ribuan ketakutan yang sangat mendera. Tersengal-sengal aku berusaha tanpa ada yang membantu karena kau melihat kawan melautku, pemuda yang masih penuh dengan masa depan tak membantuku sama sekali. Aku melihat dia menggelepar-geleparkan tubuhnya. Asinnya air laut masuk mulut dan hidungnya. Aku makin lunglai jika harus melihat pemuda itu mati di depanku. Aku balik sampan dengan banyak harapan pada Gusti Yang Esa. Sampan berhasil aku balik. Segera aku berenang dengan kencang menyelamatkan pemuda yang aku bawa menemaniku melaut. Aku tarik tubuhnya. Aku bawa dia ke atas sampan. Dengan nafas tersengal-sengal aku tanya padanya, “kamu baik-baik saja nak?”. Betapa aku sangat berdosa jika harus membawa mayatnya pada keluarganya. Beruntung dia masih selamat. Aku lemas seketika mengenang kejadian itu.
Nelayan tradisional lain yang kebetulan tahu dengan apa yang terjadi terhadap sampan kami langsung menyelamatkan kami. Isriku meleleh air matanya saat menemuiku telah pulang ke rumah dengan keadaan wajah yang sangat pucat. Aku tahu ibu anak-anak sangat takut jika kehilangan diriku dengan cara semacam itu tapi, itulah perjuangan hidup. “bapak tidak apa-apa bu….” Aku menenangkan istriku yang masih juga kalut.
“pak…..ibu….” istriku berkata terbata-bata sambil tetap menangis.
“bu, bapak tidak apa-apa. Kematian itu pasti akan datang. Entah bagaimana cara dan rupanya. Tolong ibu buatkan bapak teh saja,”sengaja aku menyuruh isrti membuat teh agar bisa mengendalikan dirinya lagi.
Tiba-tiba pelukan mendarat dari tiga jagoanku. Anak-anakku memeluk tubuh bapaknya yang masih basah huyup oleh air laut. “ bapak tidak apa-apa. Bapak harus tetap tidak apa-apa sampai kita menjadi anak-anak yang bisa membanggakan bapak dan ibu,” mereka menghiburku. Oh Gusti….sempurna nikmat dariMu. Kau jadikan anak dan istriku sebagai penghibur dikala kelelahan dan kesedihan datang.
“kalian akan jadi orang yang berguna. Harus itu!!!” aku menimpali ucapan mereka. Aku ingin halau kedukaan di rumahku dengan banyak harapan dan senyuman.
Langit semakin senja. Mentari sudah harus kembali ke peraduannya. Aku berdiri. Melihat hamparan sawah yang sangat indah terbentang. Ku bersihkan diriku. Memercikkan air wudhu. Biarkan aku menghadapmu Gusti…
Powered By Blogger