Tak kan kubiarkan stasioner. Sungguh membosankan!! Jika aku harus menutup kisah ini maka aku akan memilih mengakhirinya dengan kurung siku yang fungsinya naik kuat. Tapi melukis grafik hidup yg persis kehendak diri adalah kemustahilan. Sang Penguasa ternyata ikut melukisnya dalam takdir yang aku dan kalian semua tak akan pernah tahu geraknya.
Detik itu Sang Penguasa mengabulkan titik maksimalku. Ternyata itu semua karena aku mensubstitusikan keangkuhanku dengan doa-doa yang minim namun tulus. Ah, aku menghakhirinya dengan baik. Semuanya telah selesai. Sudah tidak ada lagi. Aku merdeka!!!
Itu semua membuat kebahagiaan terkuadrat dengan angka-angka yang sempurna. Kenapa tidak dari dulu aku paham bahwa kepayahan layaknya bilangan prima yang hanya bisa dibagi dengan 1 dan bilangan itu sendiri. Dan dimalam itu aku hanya membagi semua penderitaan dan rahasiaku padaMU. Berbagi dengan Engkau Yang Satu dan diriku sendiri.
Kode imajiner1:
233, 5, 144, 10946, 987, 1, 89, 1, 377, 75025, 1, 377, 13, 233, 5, 233, 1, 377, 13, 13, 34, 144, 89, 10946, 1'0, 10946, 377, 13, 1
Diary Matematikawan 1
Langganan:
Posting Komentar (Atom)

4 komentar:
salam kenal juga fatur,,,,
Aku amat suka ketika asnawaty menulis sebuah kehidupan dalam bahasa matematika walau aku memang tak mengerti, lanjutkan...
endang gak ngerti? padahal udah pake bahasa matematika tingkat SMA. emang sengaja dibuat spesial buat anak-anak matematika juga si. hehehe
Ga ngerti, tapi suka. Gimana dong? Kata guru matematikaku di SMA, belajar matematika tak perlu pinter tapi suka aja udah cukup. Makanya aku disayang ma guru matematika walau memang aku tak terlalu pandai di bidang itu...hehe (curhat.com)
Posting Komentar