oleh Sri Asnawati pada 18 Mei 2011 jam 0:01
Pilihan itu adalah awal aku memasuki dunia yang tak lagi memberiku ruang untuk bermimpi dan berimajinasi. Aku hanya diberi waktu untuk memikirkan strategi sebaik mungkin untuk menjadikan segalanya real. Bukan lagi mimpi tapi harus nyata. Bukan lagi imajinasi tapi harus nyata juga. Itu semua karena pilihanku menikah di usia 16 tahun.
16 tahun adalah usia yang membuatku berhenti sekolah. Berhenti belajar yang sangat aku sukai. Kenapa aku harus menikah? Padahal aku mengetahui benar bahwa study ku sangat bagus. Hampir selalu masuk 3 besar sejak sekolah dasar. Kadang aku sendiri berpikir, "apa istimewanya lelaki itu?". Ya, lelaki yang sekarang menjadi suamiku.
Aku harus mengaku bahwa mimpi-mimpiku telah dikalahkan oleh cinta pada lelaki itu. Lelaki yang aku cinta. Lelaki yang menjadi bapak dari anak-anakku. Aku tidak menyesal. Aku tidak menyesal walau banyak yang menyakitkan kualami karena tembok kelas sosial terbentuk begitu kokohnya. Mertuaku tak pernah mau memahami bahwa memiliki menantu cerdas adalah aset yang berhaga. Ia sama sekali tidak tahu bahwa menantu sepertiku akan memperbaiki kualitas keturunannya. Sudahlah...aku hanya pasrah mengenai masalah itu karena berdebat membahas masalah genetika dengan mertuaku tak akan mereka pedulikan. Aku benar-benar menjamin bahwa keturunanku akan berkualitas walau aku perempuan dari keluarga ekonomi kelas bawah.
BERSAMBUNG...
True stori
Hasil wawancara dengan seorang kawan perempuan
Perempuan pesisir 1
Endless love
oleh Sri Asnawati pada 14 Mei 2011 jam 1:16
Lama benar tak sebut Umair dalam tulisan-tulisan logis realistis. Tapi, karena lagu Endless love terdengar dengan tak sengaja aku jadi ingat padanya. Sama sekali tak mengerti maksud lagu berbahasa korea itu. Aku pun tak ingin tahu. Banyak hal yang lebih baik tak diucapkan. Aku hanya merasa nyanyiannya menggambarkan tentang sesuatu yang aku rindukan.
Benarkah mimpi-mimpi kita telah terbuka lebar di depan mata? Seolah tulisan-tulisan imajiner kita adalah himpunan doa yang dikabulkan Sang Kuasa. Bagaimana jika kita akhirnya bisa tinggal bersama di allochtonen? Ah, rasanya aku benar-benar ingin melihat kau membawa buku sastra tebal. Lalu kita akan membahas banyak hal dan berbincang penuh makna.
Dan jika kau mau tahu, aku tidak bisa mengerjakan proyek yang kau tawarkan seorang diri. Tapi jika kita kerjakan bersama aku sedikit yakin dapat menghasilkan sebuah karya.
Tentu saja waktu kita tidak hanya dihabiskan untuk belajar, membaca buku, menulis, diskusi, dan mengikuti kelas-kelas ilmiah. Tapi, kita akan lebih banyak mengisi waktu yang kita punya untuk belajar agama banyak-banyak dan kadang bersantai di coffe shop atau pergi ke tempat-tempat bagus.
Ah, aku rindu. Aku rindu obrolan-obrolan sebelum tidur yang cerdas. Obrolan yang menguras otak untuk melakukan analisis kritis, meluaskan wawasan dan memandang sesuatu dari segi yang jarang diperbincangkan media massa ataupun para intelektual.
Karena kau teman mimpi terbaikku, Umair. Cinta padamu memberi energi begitu besar untuk terus berjuang meraih mimpi. Sebenarnya siapa Umair itu?
Lama benar tak sebut Umair dalam tulisan-tulisan logis realistis. Tapi, karena lagu Endless love terdengar dengan tak sengaja aku jadi ingat padanya. Sama sekali tak mengerti maksud lagu berbahasa korea itu. Aku pun tak ingin tahu. Banyak hal yang lebih baik tak diucapkan. Aku hanya merasa nyanyiannya menggambarkan tentang sesuatu yang aku rindukan.
Benarkah mimpi-mimpi kita telah terbuka lebar di depan mata? Seolah tulisan-tulisan imajiner kita adalah himpunan doa yang dikabulkan Sang Kuasa. Bagaimana jika kita akhirnya bisa tinggal bersama di allochtonen? Ah, rasanya aku benar-benar ingin melihat kau membawa buku sastra tebal. Lalu kita akan membahas banyak hal dan berbincang penuh makna.
Dan jika kau mau tahu, aku tidak bisa mengerjakan proyek yang kau tawarkan seorang diri. Tapi jika kita kerjakan bersama aku sedikit yakin dapat menghasilkan sebuah karya.
Tentu saja waktu kita tidak hanya dihabiskan untuk belajar, membaca buku, menulis, diskusi, dan mengikuti kelas-kelas ilmiah. Tapi, kita akan lebih banyak mengisi waktu yang kita punya untuk belajar agama banyak-banyak dan kadang bersantai di coffe shop atau pergi ke tempat-tempat bagus.
Ah, aku rindu. Aku rindu obrolan-obrolan sebelum tidur yang cerdas. Obrolan yang menguras otak untuk melakukan analisis kritis, meluaskan wawasan dan memandang sesuatu dari segi yang jarang diperbincangkan media massa ataupun para intelektual.
Karena kau teman mimpi terbaikku, Umair. Cinta padamu memberi energi begitu besar untuk terus berjuang meraih mimpi. Sebenarnya siapa Umair itu?
Diary matematikawan 5
oleh Sri Asnawati pada 28 April 2011 jam 0:40
Adalah sia-sia mencari aphotema jika vektor yang dilalui masih juga panjang. Lalu phytagoras seolah memberi solusi membantu menemukan range nya.
Kupikir himpunan itu terdiri dari angka-angka yang indah tapi nyatanya hanya himpunan kosong. Nol pun nihil.
Tak rasional jika aku mengatakan bahwa itu adalah sebuah aksioma yang tak perlu dibuktikan kebenarannya. Ah, akhirnya itu sekedar teori yang harus dibuktikan. Siapa bilang 5+4=9? Sudahlah hatiku... Kali ini kau dibatasi aturan modulo 7. Sama sekali bukan sembilan hasilnya. Marilah kita cari penyelesaiannya agar kurva hidup kita naik kuat. Linier. y=x.
Aku memang bukan sastrawan tapi hanya seorang matematikawan. Tapi jangan kau bilang jemu karna aku pun punya imajinasi. Bukan! Bukan imajinasi bak dongeng irasional tapi imajinasiku terbingkai seperti bilangan imajiner. Dan si imajiner akan menjadi real jika dikalikan dengan sesuatu. Sekarang, tinggal menunggu pembuktian yang kucari sepanjang selang tak terhingga.
Aku harus sadar benar bahwa matematikawan seperti diriku harus mampu mensubstitusikan senyuman dan mengeleminasi air mata. Biar kutemukan kebahagiaan di ujung senja.
Adalah sia-sia mencari aphotema jika vektor yang dilalui masih juga panjang. Lalu phytagoras seolah memberi solusi membantu menemukan range nya.
Kupikir himpunan itu terdiri dari angka-angka yang indah tapi nyatanya hanya himpunan kosong. Nol pun nihil.
Tak rasional jika aku mengatakan bahwa itu adalah sebuah aksioma yang tak perlu dibuktikan kebenarannya. Ah, akhirnya itu sekedar teori yang harus dibuktikan. Siapa bilang 5+4=9? Sudahlah hatiku... Kali ini kau dibatasi aturan modulo 7. Sama sekali bukan sembilan hasilnya. Marilah kita cari penyelesaiannya agar kurva hidup kita naik kuat. Linier. y=x.
Aku memang bukan sastrawan tapi hanya seorang matematikawan. Tapi jangan kau bilang jemu karna aku pun punya imajinasi. Bukan! Bukan imajinasi bak dongeng irasional tapi imajinasiku terbingkai seperti bilangan imajiner. Dan si imajiner akan menjadi real jika dikalikan dengan sesuatu. Sekarang, tinggal menunggu pembuktian yang kucari sepanjang selang tak terhingga.
Aku harus sadar benar bahwa matematikawan seperti diriku harus mampu mensubstitusikan senyuman dan mengeleminasi air mata. Biar kutemukan kebahagiaan di ujung senja.
Rasionalisasi perasaan
oleh Sri Asnawati pada 10 April 2011 jam 0:40
Sebuah kalimat dari seorang guru yang pernah diucapkan beberapa tahun lalu aku anggap kejam tapi kini aku benar-benar telah bisa memaknainya. Mengerti maksud kalimat itu dengan bijak.
Karena semuanya keputusan. Perpisahan dan kesedihan hanya emosi sesaat karena tempat dan orang-orang baru akan memberi warna baru juga dalam hidup. Ada saatnya kesempatan datang untuk memudahkan melupakan kenangan pahit, kebodohan, penderitaan, dan cinta. Kota ini yang akan memudahkan menemukan apa yg diinginkan. Akan ditemukan semangat baru, kawan baru, tempat baru,cita-cita, kebahagiaan, mimpi, dan cinta. Cukup putuskan dan lakukan maka hasil pasti dituai juga. Aku telah memutuskan banyak hal disini.
Sebuah kalimat dari seorang guru yang pernah diucapkan beberapa tahun lalu aku anggap kejam tapi kini aku benar-benar telah bisa memaknainya. Mengerti maksud kalimat itu dengan bijak.
Karena semuanya keputusan. Perpisahan dan kesedihan hanya emosi sesaat karena tempat dan orang-orang baru akan memberi warna baru juga dalam hidup. Ada saatnya kesempatan datang untuk memudahkan melupakan kenangan pahit, kebodohan, penderitaan, dan cinta. Kota ini yang akan memudahkan menemukan apa yg diinginkan. Akan ditemukan semangat baru, kawan baru, tempat baru,cita-cita, kebahagiaan, mimpi, dan cinta. Cukup putuskan dan lakukan maka hasil pasti dituai juga. Aku telah memutuskan banyak hal disini.
TAK INGIN TERPUBLIKASIKAN
kebiasaan ini diawali sejak SD dulu bersama dua orang sahabat kecil. kami adalah kumpulan pemimpi yang mengurai cita di ujung senja di tengah hamparan hijaunya padi dan kemilau senja yang mempesona. persahabatan yang hangat dan sedikit liar. Dua orang itu masih tetap hidup di hatiku. tidak pernah kunjung pergi hingga kini. aku lebih suka ilmu alam dan iptek. sama sekali tak suka sastra. tapi satu orang itu benar-benar bertekad ingin masuk sastra inggris. setiap kali kami bertiga duduk diantara daun-daun padi dia ampir selalu membawa buku sastra. novel, cerpen, atau kumpulan puisi. selalu sastra.
akhirnya aku mula mencoba membaca apa yang dia suka. yang paling aku ingat adalah LELAKI TUA DAN LAUT karangan Ernes hemingway dan tulisan-tulisannya. aku panggil dia Stefy. namanya Stefany Caroline. tentu saja itu bukan nama dia yang sebenarnya karna kami pemimpi dan liar imajinasi. kadang aku rindu sangat rindu pada dua sahabat itu yang kini susah sekali ditemui. satu di luar negeri satu di jawa tengah. dan air mata tetap saja meleleh saat sms atau telpon dari luar negeri datang di ponsel. bahkan kabar aku sakit pun dia tahu sangat cepat. TRIMAKASIH untuk kalian yang kucinta, Katie dan Stefy.
ini adalh imbas dari kebiasaan yang kalian tularkan dulu.
malam ini aku menulis sebuah karya sangat SKS hasil wawancara dengan seseorang tentang penggarapan skripsi. kucoba mengeluarkan kemampuan sampai begadang hampir dini hari dan harus dikirim besok. pasrah saja. tidak terlalu berharap lolos. jika lolos maka karya yang ku garap akan dibukukan dan beredar di pasaran walau masih dalam bentuk antologi.
hari terus berlalu dan aku lupa dengan tulisan yang pernah ku kirm. tidak pernah mencari tahu lolos atau tidak tidba-tiba aku membuka sebuah halaman web yang menyataan bahwa karyaku lolos. aku hanya membagi kabar dengan Bunda tercinta karena beliau yang selalu menemaniku jika aku begadang untuk menulis. tapi, ada seorang saudara seperjuangan yang tahu tentang kabar itu. MALU bukan kepalang. mulanya tak mau mengabari siapa pun tapi tidak tahu terimakasih juga kalau si narasumber tak diberi kabar. kuputuskan untuk membagi infonya dengan narasumber. ku ucapkan trimakasih juga pada nara sumber yang telah ku tanya ini itu dan ku kutip beberapa tulisan yang pernah ia buat karena dia adalah tokoh utama dalam tulisan itu.
selang hari-hari berikutnya diputuskan karyaku tidak bisa dibukukan karena bukan pengalaman pribadi itulah inti pesan elektronik yang kubaca. aku cuma nyengir saja karena jika terpublikasi sepertinya......................
bahkan dalam doa aku benar-benar berharap itu tidak jadi dipublikasikan.
MY TRUE STORY
akhirnya aku mula mencoba membaca apa yang dia suka. yang paling aku ingat adalah LELAKI TUA DAN LAUT karangan Ernes hemingway dan tulisan-tulisannya. aku panggil dia Stefy. namanya Stefany Caroline. tentu saja itu bukan nama dia yang sebenarnya karna kami pemimpi dan liar imajinasi. kadang aku rindu sangat rindu pada dua sahabat itu yang kini susah sekali ditemui. satu di luar negeri satu di jawa tengah. dan air mata tetap saja meleleh saat sms atau telpon dari luar negeri datang di ponsel. bahkan kabar aku sakit pun dia tahu sangat cepat. TRIMAKASIH untuk kalian yang kucinta, Katie dan Stefy.
ini adalh imbas dari kebiasaan yang kalian tularkan dulu.
malam ini aku menulis sebuah karya sangat SKS hasil wawancara dengan seseorang tentang penggarapan skripsi. kucoba mengeluarkan kemampuan sampai begadang hampir dini hari dan harus dikirim besok. pasrah saja. tidak terlalu berharap lolos. jika lolos maka karya yang ku garap akan dibukukan dan beredar di pasaran walau masih dalam bentuk antologi.
hari terus berlalu dan aku lupa dengan tulisan yang pernah ku kirm. tidak pernah mencari tahu lolos atau tidak tidba-tiba aku membuka sebuah halaman web yang menyataan bahwa karyaku lolos. aku hanya membagi kabar dengan Bunda tercinta karena beliau yang selalu menemaniku jika aku begadang untuk menulis. tapi, ada seorang saudara seperjuangan yang tahu tentang kabar itu. MALU bukan kepalang. mulanya tak mau mengabari siapa pun tapi tidak tahu terimakasih juga kalau si narasumber tak diberi kabar. kuputuskan untuk membagi infonya dengan narasumber. ku ucapkan trimakasih juga pada nara sumber yang telah ku tanya ini itu dan ku kutip beberapa tulisan yang pernah ia buat karena dia adalah tokoh utama dalam tulisan itu.
selang hari-hari berikutnya diputuskan karyaku tidak bisa dibukukan karena bukan pengalaman pribadi itulah inti pesan elektronik yang kubaca. aku cuma nyengir saja karena jika terpublikasi sepertinya......................
bahkan dalam doa aku benar-benar berharap itu tidak jadi dipublikasikan.
MY TRUE STORY
hati seorang nasionalis 2
oleh Sri Asnawati pada 12 Februari 2011 jam 15:22
Sore yang sendu tetap mengalir diiringi angin senja musim penghujan. Nurdin dengan mendayu-dayu menterjemahkan isi hati dalam kata yang dengan setia di dengarkan oleh Rangga, sahabatnya. Sambil membolak-balik buku biografi Soekarno dan Hatta yang tebalnya ratusan halaman Khaled ungkapkan semuanya. Sengaja ia mainkan buku di tangannya untuk menutupi tangannya yang gemetar. Sementara itu, di tempat yang berbeda, di sudut kampus terdapat segelintir pemuda yang sibuk membicarakan semangat persatuaan. Ya, semangat membangun kembali puing-puing peradaban yang tercabik sangat menyakitkan. “usaha pertama yang dilakukan penjajah terhadap dunia Islam adalah membaginya menjadi bagian-bagian atau negeri-negeri kecil. Langkah awal mereka adalah membuat bangsa Arab “dengan senang hati”memberontak terhadap Turki Utsmani dengan alasan mereka lebih berhak memegang khilafah, dan menjanjikan mereka dengan terbentuknya Impeium Arab yang menyatukan seluruh bangsa Arab, jika mereka mau melakukan pemberontakan. Diantara hasil perang dunia pertama ini ialah Turki utsmani terkepung dan terisolasi, sedangkan negeri-negeri Arab terbagi menjadi lebih dari dua puluh negara kecil. Perpecahan itu berlangsung hingga kini tidak hnaya dalam batas teritorial, tapi juga perpecahan dalam mencapai kepentingan. Penjajahan telah meninggalkan luka perpecahan yang tetap berlangsung dan mudah menganga kembali ketika terlihat mulai sembuh (Musthafa Muhammad Thahan, 2008: 4),” dengan tenang namun penuh semangat Hilmi memaparkan materi tentang Islam dan Pemuda di hadapan adik-adik tingkat dan rekan seangkatannya di Lembaga dakwah Kampus.
Jika Nurdin dengan menggebu berjuang dengan semangat nasionalismenya maka Hilmi berjuang bukan hanya dengan semangat itu tapi ia juga berjuang dengan kesadaran akan kewajibannya sebagai seorang hamba terhadap Rabbnya. Bagi Hilmi nasionalisme ditentukan oleh aqidah, sementara bagi Nurdin nasionalisme batasannya ditentukan oleh teritorial wilayah negara dalam batasan-batasan geografis.
Sejenak suasana diskusi di pojok masjid kampus senyap. Hilmi yang dari tadi menyampaikan gagasan-gagasannya memberi kesempatan kepada rekan-rekannya untuk menanggapi, bertanya, atau menyanggah jika ada hal yang tidak disepakati. Waktu quo tak berlangsung lama. Tangan Sofyan sudah terangkat hendak mempertanyakan pernyataan yang menurutnya ganjil. Memang, Sofyan unggul dalam hal melogikakan kata dan memiliki daya nalar yang tinggi. Maklum saja dia adalah mahasiswa Sains murni yang mengambil jurusan matematika jadi cara perfikir logis dan sistematis seolah menjadi karakternya.
“Akh Hilmi, apakah seruan kepada Islam bukannya akan merusak persatuan? Kita semua tahu bahwa di Indonesia ada berbagai macam agama,”dengan menggebu Sofyan mengemukakan pikirannya.
Sebelum menjawab pertanyaan Sofyan Hilmi tersenyum hingga gigi-giginya yang putih terlihat, “Sungguh akhi, betapa rapuhnya klaim yang mengatakan bahwa seruan kepada Islam hanya merusak persatuan bangsa yang terdiri dari berbagai aliran agama. Sesungguhnya islam-sebagai agama persatuan dan persamaan-telah menjamin kekuatan ikatan itu selama masyarakat tetap tolong-menolong dalam kebaikan dan taqwa. Lihatlah firman Allah SWT,’Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangi kamu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil (QS Al- Mumtahanah: 8)’ (Hasan Al Banna, 2008: 41)” dengan cerdik Hilmi menyusun puzle kebingungan yang dialami Sofyan. Mendengar jawaban Hilmi itu, tanda tannya di kepala Sofyan seolah hilang terbang dan terganti dengan kejernihan.
#######
“Din bangun!! Nggak sholat kamu? Subuh udah lewat. Noh mentari mau nongol,”Rangga mengguncang-guncang badan sahabat sekamarnya yang susah sekali untuk menjalankan sholat subuh.
Nurdin tetap tak bergeming walau ia mendengar dengan jelas seruan sahabatnya. Sambil tetap memjamkan mata ia berkata, “Ya Allah....please maafkan hambamu ini. Aku dispen sholat subuh lagi ya Allah,”sambil memeluk bantal lebih erat.
“Dasar!! Manusia tidak tahu diuntung kamu ini Din! Tahu rasa nanti kalau Allah Murka,”Rangga menimpali kata-kata penolakan Nurdin sambil mengosok-gosok rambutnya yang basah sehabis keramas. “biarpun aku bukan anak rohis tapi aktifis yang manis, aku ogah ketinggalan solah Din!”
“berisik kamu Ngga!”Nurdin melempar Rangga dengan bantal “makanya doakan aku biar tobat. Kamu sih suka lupa mendoakan sahabatnya jadilah aku banyak dispen sholat”
“hah???”Rangga hanya terbengong-bengong mendengar jawaban Khalid. “wah ini sih bisa kena saing sama Hilmi. Siap-siap. Bukan hal mustahi melati pujaan hatimu lebih terpikat pada Hilmi yang Sholeh. Emm...,”Rangga memandang wajah Nurdin sambil menilai dan menimbang-nimbang, “dompet tembelan kamu dikit. Otak cerdasan Hilmi. Tampang kerenan kamu tapi Hilmi juga ganteng. Gimana nih?”
Hati Nurdin terbakar amarah. Tidak terima dibanding-bandingkan tapi ia sadar benar bahwa rasio antara dia dan Hilmi memang bagai satu banding lima. Sudah cukup ketertinggalan itu. Jika tidak bertahan bisa-bisa satu banding sepuluh perbandingan antara dirinya dan Hilmi. Tak perlu pikir panjang, Nurdin langsung lari ke kamar mandi dan sholat setengah terpaksa hanya demi memperthankan kualitas di hadapan si penakluk hatinya. Melihat adegan itu Rangga tertawa puas sekali, “ckckckc...tak ku sangka ketua GPN luluh lantak jika sudah di sebut nama si melati pujaan hati. Apalagi jika disebut melati dipasangkan dengan Hilmi heu, terbakar api cemburu deh.” Rangga makin menjadi menggoda Khalid dengan menyanyikan lagu band pentolan Giring penuh ekspresi, “bila aku jatuh cinta...aku mendengar nyanyian seribu dewa dewi cinta menggema dunia.... bila aku jatuh cinta... aku melihat matahari kan datang padaku dan memelukku dengaaaaaan sayang.... Bila aku jatuh cinta aku melihat sang bulan kan datang padaku dan menemani aku huoooo.... melewati dinginnya mimpi....melewati dinginnya mimpi.....hahahaha”
Tiba-tiba pintu kos kamar Nurdin dan Rangga diketuk. Si pengetuk pintu sudah masuk sebelum diberi izin. Dengan tersengal-sengal Asep berkata, “Kang, Haris....Haris....Haris Kang. Dia dikroyok sama pereman”
“yang bener kamu Sep? Terus dia dimana sekarang?”Nurdin bertanya panik
“Tadi saya lewat di jalan perempatan dekat kampus. Liat Haris dihajar sama orang yang badannya gede-gede aku langsung lari kesini kasih tahu Kang Nurdin. Aku gak berani bantuin Kang!”
Nurdin langsung lari menuju tempat Haris dikeroyok oleh pereman. Nurdin berlari kencang. Pikirannya hanya satu, keselamatan Haris. Selang beberapa menit Nurdin melihat tubuh Haris sudah tergeetak tak berdaya. Badan Haris penuh luka dan darah bahkan dia sudah tidak sadarkan diri. “Haris, Ris bangun Ris,” Nurdin marah sambil menahan air mata melihat kawannya babak belur. “Tak diragukan lagi ini pasti gara-gara demonstrasi mengkritik wali kota yang kita lakukan kemarin,”Yakin Nurdin.
(BERSAMBUNG)
Sore yang sendu tetap mengalir diiringi angin senja musim penghujan. Nurdin dengan mendayu-dayu menterjemahkan isi hati dalam kata yang dengan setia di dengarkan oleh Rangga, sahabatnya. Sambil membolak-balik buku biografi Soekarno dan Hatta yang tebalnya ratusan halaman Khaled ungkapkan semuanya. Sengaja ia mainkan buku di tangannya untuk menutupi tangannya yang gemetar. Sementara itu, di tempat yang berbeda, di sudut kampus terdapat segelintir pemuda yang sibuk membicarakan semangat persatuaan. Ya, semangat membangun kembali puing-puing peradaban yang tercabik sangat menyakitkan. “usaha pertama yang dilakukan penjajah terhadap dunia Islam adalah membaginya menjadi bagian-bagian atau negeri-negeri kecil. Langkah awal mereka adalah membuat bangsa Arab “dengan senang hati”memberontak terhadap Turki Utsmani dengan alasan mereka lebih berhak memegang khilafah, dan menjanjikan mereka dengan terbentuknya Impeium Arab yang menyatukan seluruh bangsa Arab, jika mereka mau melakukan pemberontakan. Diantara hasil perang dunia pertama ini ialah Turki utsmani terkepung dan terisolasi, sedangkan negeri-negeri Arab terbagi menjadi lebih dari dua puluh negara kecil. Perpecahan itu berlangsung hingga kini tidak hnaya dalam batas teritorial, tapi juga perpecahan dalam mencapai kepentingan. Penjajahan telah meninggalkan luka perpecahan yang tetap berlangsung dan mudah menganga kembali ketika terlihat mulai sembuh (Musthafa Muhammad Thahan, 2008: 4),” dengan tenang namun penuh semangat Hilmi memaparkan materi tentang Islam dan Pemuda di hadapan adik-adik tingkat dan rekan seangkatannya di Lembaga dakwah Kampus.
Jika Nurdin dengan menggebu berjuang dengan semangat nasionalismenya maka Hilmi berjuang bukan hanya dengan semangat itu tapi ia juga berjuang dengan kesadaran akan kewajibannya sebagai seorang hamba terhadap Rabbnya. Bagi Hilmi nasionalisme ditentukan oleh aqidah, sementara bagi Nurdin nasionalisme batasannya ditentukan oleh teritorial wilayah negara dalam batasan-batasan geografis.
Sejenak suasana diskusi di pojok masjid kampus senyap. Hilmi yang dari tadi menyampaikan gagasan-gagasannya memberi kesempatan kepada rekan-rekannya untuk menanggapi, bertanya, atau menyanggah jika ada hal yang tidak disepakati. Waktu quo tak berlangsung lama. Tangan Sofyan sudah terangkat hendak mempertanyakan pernyataan yang menurutnya ganjil. Memang, Sofyan unggul dalam hal melogikakan kata dan memiliki daya nalar yang tinggi. Maklum saja dia adalah mahasiswa Sains murni yang mengambil jurusan matematika jadi cara perfikir logis dan sistematis seolah menjadi karakternya.
“Akh Hilmi, apakah seruan kepada Islam bukannya akan merusak persatuan? Kita semua tahu bahwa di Indonesia ada berbagai macam agama,”dengan menggebu Sofyan mengemukakan pikirannya.
Sebelum menjawab pertanyaan Sofyan Hilmi tersenyum hingga gigi-giginya yang putih terlihat, “Sungguh akhi, betapa rapuhnya klaim yang mengatakan bahwa seruan kepada Islam hanya merusak persatuan bangsa yang terdiri dari berbagai aliran agama. Sesungguhnya islam-sebagai agama persatuan dan persamaan-telah menjamin kekuatan ikatan itu selama masyarakat tetap tolong-menolong dalam kebaikan dan taqwa. Lihatlah firman Allah SWT,’Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangi kamu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil (QS Al- Mumtahanah: 8)’ (Hasan Al Banna, 2008: 41)” dengan cerdik Hilmi menyusun puzle kebingungan yang dialami Sofyan. Mendengar jawaban Hilmi itu, tanda tannya di kepala Sofyan seolah hilang terbang dan terganti dengan kejernihan.
#######
“Din bangun!! Nggak sholat kamu? Subuh udah lewat. Noh mentari mau nongol,”Rangga mengguncang-guncang badan sahabat sekamarnya yang susah sekali untuk menjalankan sholat subuh.
Nurdin tetap tak bergeming walau ia mendengar dengan jelas seruan sahabatnya. Sambil tetap memjamkan mata ia berkata, “Ya Allah....please maafkan hambamu ini. Aku dispen sholat subuh lagi ya Allah,”sambil memeluk bantal lebih erat.
“Dasar!! Manusia tidak tahu diuntung kamu ini Din! Tahu rasa nanti kalau Allah Murka,”Rangga menimpali kata-kata penolakan Nurdin sambil mengosok-gosok rambutnya yang basah sehabis keramas. “biarpun aku bukan anak rohis tapi aktifis yang manis, aku ogah ketinggalan solah Din!”
“berisik kamu Ngga!”Nurdin melempar Rangga dengan bantal “makanya doakan aku biar tobat. Kamu sih suka lupa mendoakan sahabatnya jadilah aku banyak dispen sholat”
“hah???”Rangga hanya terbengong-bengong mendengar jawaban Khalid. “wah ini sih bisa kena saing sama Hilmi. Siap-siap. Bukan hal mustahi melati pujaan hatimu lebih terpikat pada Hilmi yang Sholeh. Emm...,”Rangga memandang wajah Nurdin sambil menilai dan menimbang-nimbang, “dompet tembelan kamu dikit. Otak cerdasan Hilmi. Tampang kerenan kamu tapi Hilmi juga ganteng. Gimana nih?”
Hati Nurdin terbakar amarah. Tidak terima dibanding-bandingkan tapi ia sadar benar bahwa rasio antara dia dan Hilmi memang bagai satu banding lima. Sudah cukup ketertinggalan itu. Jika tidak bertahan bisa-bisa satu banding sepuluh perbandingan antara dirinya dan Hilmi. Tak perlu pikir panjang, Nurdin langsung lari ke kamar mandi dan sholat setengah terpaksa hanya demi memperthankan kualitas di hadapan si penakluk hatinya. Melihat adegan itu Rangga tertawa puas sekali, “ckckckc...tak ku sangka ketua GPN luluh lantak jika sudah di sebut nama si melati pujaan hati. Apalagi jika disebut melati dipasangkan dengan Hilmi heu, terbakar api cemburu deh.” Rangga makin menjadi menggoda Khalid dengan menyanyikan lagu band pentolan Giring penuh ekspresi, “bila aku jatuh cinta...aku mendengar nyanyian seribu dewa dewi cinta menggema dunia.... bila aku jatuh cinta... aku melihat matahari kan datang padaku dan memelukku dengaaaaaan sayang.... Bila aku jatuh cinta aku melihat sang bulan kan datang padaku dan menemani aku huoooo.... melewati dinginnya mimpi....melewati dinginnya mimpi.....hahahaha”
Tiba-tiba pintu kos kamar Nurdin dan Rangga diketuk. Si pengetuk pintu sudah masuk sebelum diberi izin. Dengan tersengal-sengal Asep berkata, “Kang, Haris....Haris....Haris Kang. Dia dikroyok sama pereman”
“yang bener kamu Sep? Terus dia dimana sekarang?”Nurdin bertanya panik
“Tadi saya lewat di jalan perempatan dekat kampus. Liat Haris dihajar sama orang yang badannya gede-gede aku langsung lari kesini kasih tahu Kang Nurdin. Aku gak berani bantuin Kang!”
Nurdin langsung lari menuju tempat Haris dikeroyok oleh pereman. Nurdin berlari kencang. Pikirannya hanya satu, keselamatan Haris. Selang beberapa menit Nurdin melihat tubuh Haris sudah tergeetak tak berdaya. Badan Haris penuh luka dan darah bahkan dia sudah tidak sadarkan diri. “Haris, Ris bangun Ris,” Nurdin marah sambil menahan air mata melihat kawannya babak belur. “Tak diragukan lagi ini pasti gara-gara demonstrasi mengkritik wali kota yang kita lakukan kemarin,”Yakin Nurdin.
(BERSAMBUNG)
Hati seorang Nasionalis 1
oleh Sri Asnawati pada 15 Januari 2011 jam 0:46
Pemuda itu penuh binar. Matanya berkilat-kilat menunjukkan semangat perjuangan. Semua diam saat gagasan-gagasannya mencuat dengan tajam. Tangannya mengepal, menunjuk, dan mimik mukanya penuh keyakinan. Semua adik tingkat yang terekrut dengan takjub mendengar pidato pimpinan organisasi nasionalis itu.
"...., ketika Soekarno-Hatta dengan lantang menyuarakan proklamasi kemerdekaan RI pd tanggal 17 agustus 1945. Secara harfiah, momentum proklamasi merupakan wujud pembebasan sebuah negeri dari cengkeraman kolonial penjajahan. Persoalannya kemudian adalah, bahwa dalam konteks proklamasi 17 agustus 1945, pembebasan itu secara nyata hanya menyentuh segi kehidupan semata-mata, yakni dalam bidang politik.
Oleh karena itu, lebih tepatlah kiranya proklamasi kemerdekaan ini dinamai proklamasi di segi lain. Karena dalam prakteknya, pembebasan negeri ini belum mampu untuk membebaskan dirinya baik dari jaringan birokrasi peninggalan masa kolonial Belanda maupun dari infrastruktur ekonomi kapitalisme pinggiran, yang sudah tertanam hampir dua abad lamanya (Supriyanto, 1999: 26), " riuh tepuk tangan membahana ketika Mahasiswa hukum pidana itu berpidato dalam pembukaan rekrutmen anggota baru organisasinya. Dalam pidato pembukaannya ia pun metutup pidato dengan kalimat yang dapat mengcengkeram emosi peserta, " selamat datang di Gerakan Pemuda Nasionalis (GPN). Kalian harus pastikan bahwa kamu, kamu, dan kamu semua yang akan menyelamatkan negeri kita tercinta, Indonesia. Salam mahasisa"
seluruh peserta membalas, "salam mahasiswa" dg penuh semangat kemudian disusul dengan tepuk tangan lagi.
****
Ialah Nurdin pemuda nasionalis yang cerdas, tampan, dan pandai bergaul maka tak heran kaum hawa banyak yang ingin menjadi pacarnya. Cita2nya menggunung. Impiannya tinggi. Semua bisa ia atasi dan kesampingkang demi cita dan mimpinya hanya saja satu hal yang masih membuatnya merasa bodoh dan keluar dari identitasnya sendiri.
Dijendela kamar kost sederhana ia masih juga berpikir dalam hati, "ah, mungkin itu cuma sesaat saja Nurdin!" ia menasehati diri sendiri. Seolah ingin membekekukan sesuatu yang tidak legal mencair dalam hatinya. "huff, susah sekali hati dan pikiran berkompromi," keluhnya.
"hoy, nglamun. Hayo...lagi nglamuin apa ni Din!" ucap Rangga membuyarkan pikiran Nurdin.
"ah, kamu. Ganggu aja Ngga," keluh Nurdin sambil tetap tersenyum.
"sob, untuk urusan yg itu gak bisa di lihat dari kaca mata hukummu itu. Gak akan nyambung bung!!"
"bisanya cuma mledek aja Ngga?"
"bukan. Hanya memberi pandangan secara rasional Din! Ya, bisa dikatakan dari sudut pandang seorang Rangga Pamungkas, mahasiswa sastra indonesia. Hahaha"
"jadi? Kamu menilai ini wajar Ngga? Ah, manis di bibir saja paling. Dibelakangku kau mentertawakanku", ucap Nurdin dengan muka merana.
"cerita saja padaku Din! 4th kita sekamar. Kemana2 bareng. Satu organisasi, satu perjuangan pula", Rangga tetap merayu Nurdin agar mau buka mulut.
Nurdin cengar cengir. Tak kuasa menahan sesuatu yang ingin ia bagi dg teman sejawat. Namun, malu. "masa iya, aktifis macam Nurdin Kholid membicarakan ini. Bagaimana nanti repotasiku?" timbang nurdin dalam hati.
"din, kamu bukan robot. Disini nih," Rangga menunjuk dada Nurdin, "ada organ yang namanya hati. Kamu ngaku manusia kan?"
"jaga rahasiaku Ngga. Kamu sahabat terdekatku. Begini,....
(bersambung)
Pemuda itu penuh binar. Matanya berkilat-kilat menunjukkan semangat perjuangan. Semua diam saat gagasan-gagasannya mencuat dengan tajam. Tangannya mengepal, menunjuk, dan mimik mukanya penuh keyakinan. Semua adik tingkat yang terekrut dengan takjub mendengar pidato pimpinan organisasi nasionalis itu.
"...., ketika Soekarno-Hatta dengan lantang menyuarakan proklamasi kemerdekaan RI pd tanggal 17 agustus 1945. Secara harfiah, momentum proklamasi merupakan wujud pembebasan sebuah negeri dari cengkeraman kolonial penjajahan. Persoalannya kemudian adalah, bahwa dalam konteks proklamasi 17 agustus 1945, pembebasan itu secara nyata hanya menyentuh segi kehidupan semata-mata, yakni dalam bidang politik.
Oleh karena itu, lebih tepatlah kiranya proklamasi kemerdekaan ini dinamai proklamasi di segi lain. Karena dalam prakteknya, pembebasan negeri ini belum mampu untuk membebaskan dirinya baik dari jaringan birokrasi peninggalan masa kolonial Belanda maupun dari infrastruktur ekonomi kapitalisme pinggiran, yang sudah tertanam hampir dua abad lamanya (Supriyanto, 1999: 26), " riuh tepuk tangan membahana ketika Mahasiswa hukum pidana itu berpidato dalam pembukaan rekrutmen anggota baru organisasinya. Dalam pidato pembukaannya ia pun metutup pidato dengan kalimat yang dapat mengcengkeram emosi peserta, " selamat datang di Gerakan Pemuda Nasionalis (GPN). Kalian harus pastikan bahwa kamu, kamu, dan kamu semua yang akan menyelamatkan negeri kita tercinta, Indonesia. Salam mahasisa"
seluruh peserta membalas, "salam mahasiswa" dg penuh semangat kemudian disusul dengan tepuk tangan lagi.
****
Ialah Nurdin pemuda nasionalis yang cerdas, tampan, dan pandai bergaul maka tak heran kaum hawa banyak yang ingin menjadi pacarnya. Cita2nya menggunung. Impiannya tinggi. Semua bisa ia atasi dan kesampingkang demi cita dan mimpinya hanya saja satu hal yang masih membuatnya merasa bodoh dan keluar dari identitasnya sendiri.
Dijendela kamar kost sederhana ia masih juga berpikir dalam hati, "ah, mungkin itu cuma sesaat saja Nurdin!" ia menasehati diri sendiri. Seolah ingin membekekukan sesuatu yang tidak legal mencair dalam hatinya. "huff, susah sekali hati dan pikiran berkompromi," keluhnya.
"hoy, nglamun. Hayo...lagi nglamuin apa ni Din!" ucap Rangga membuyarkan pikiran Nurdin.
"ah, kamu. Ganggu aja Ngga," keluh Nurdin sambil tetap tersenyum.
"sob, untuk urusan yg itu gak bisa di lihat dari kaca mata hukummu itu. Gak akan nyambung bung!!"
"bisanya cuma mledek aja Ngga?"
"bukan. Hanya memberi pandangan secara rasional Din! Ya, bisa dikatakan dari sudut pandang seorang Rangga Pamungkas, mahasiswa sastra indonesia. Hahaha"
"jadi? Kamu menilai ini wajar Ngga? Ah, manis di bibir saja paling. Dibelakangku kau mentertawakanku", ucap Nurdin dengan muka merana.
"cerita saja padaku Din! 4th kita sekamar. Kemana2 bareng. Satu organisasi, satu perjuangan pula", Rangga tetap merayu Nurdin agar mau buka mulut.
Nurdin cengar cengir. Tak kuasa menahan sesuatu yang ingin ia bagi dg teman sejawat. Namun, malu. "masa iya, aktifis macam Nurdin Kholid membicarakan ini. Bagaimana nanti repotasiku?" timbang nurdin dalam hati.
"din, kamu bukan robot. Disini nih," Rangga menunjuk dada Nurdin, "ada organ yang namanya hati. Kamu ngaku manusia kan?"
"jaga rahasiaku Ngga. Kamu sahabat terdekatku. Begini,....
(bersambung)
Langganan:
Postingan (Atom)