Hati seorang Nasionalis 1

oleh Sri Asnawati pada 15 Januari 2011 jam 0:46

Pemuda itu penuh binar. Matanya berkilat-kilat menunjukkan semangat perjuangan. Semua diam saat gagasan-gagasannya mencuat dengan tajam. Tangannya mengepal, menunjuk, dan mimik mukanya penuh keyakinan. Semua adik tingkat yang terekrut dengan takjub mendengar pidato pimpinan organisasi nasionalis itu.

"...., ketika Soekarno-Hatta dengan lantang menyuarakan proklamasi kemerdekaan RI pd tanggal 17 agustus 1945. Secara harfiah, momentum proklamasi merupakan wujud pembebasan sebuah negeri dari cengkeraman kolonial penjajahan. Persoalannya kemudian adalah, bahwa dalam konteks proklamasi 17 agustus 1945, pembebasan itu secara nyata hanya menyentuh segi kehidupan semata-mata, yakni dalam bidang politik.
Oleh karena itu, lebih tepatlah kiranya proklamasi kemerdekaan ini dinamai proklamasi di segi lain. Karena dalam prakteknya, pembebasan negeri ini belum mampu untuk membebaskan dirinya baik dari jaringan birokrasi peninggalan masa kolonial Belanda maupun dari infrastruktur ekonomi kapitalisme pinggiran, yang sudah tertanam hampir dua abad lamanya (Supriyanto, 1999: 26), " riuh tepuk tangan membahana ketika Mahasiswa hukum pidana itu berpidato dalam pembukaan rekrutmen anggota baru organisasinya. Dalam pidato pembukaannya ia pun metutup pidato dengan kalimat yang dapat mengcengkeram emosi peserta, " selamat datang di Gerakan Pemuda Nasionalis (GPN). Kalian harus pastikan bahwa kamu, kamu, dan kamu semua yang akan menyelamatkan negeri kita tercinta, Indonesia. Salam mahasisa"

seluruh peserta membalas, "salam mahasiswa" dg penuh semangat kemudian disusul dengan tepuk tangan lagi.
****

Ialah Nurdin pemuda nasionalis yang cerdas, tampan, dan pandai bergaul maka tak heran kaum hawa banyak yang ingin menjadi pacarnya. Cita2nya menggunung. Impiannya tinggi. Semua bisa ia atasi dan kesampingkang demi cita dan mimpinya hanya saja satu hal yang masih membuatnya merasa bodoh dan keluar dari identitasnya sendiri.

Dijendela kamar kost sederhana ia masih juga berpikir dalam hati, "ah, mungkin itu cuma sesaat saja Nurdin!" ia menasehati diri sendiri. Seolah ingin membekekukan sesuatu yang tidak legal mencair dalam hatinya. "huff, susah sekali hati dan pikiran berkompromi," keluhnya.

"hoy, nglamun. Hayo...lagi nglamuin apa ni Din!" ucap Rangga membuyarkan pikiran Nurdin.

"ah, kamu. Ganggu aja Ngga," keluh Nurdin sambil tetap tersenyum.

"sob, untuk urusan yg itu gak bisa di lihat dari kaca mata hukummu itu. Gak akan nyambung bung!!"

"bisanya cuma mledek aja Ngga?"

"bukan. Hanya memberi pandangan secara rasional Din! Ya, bisa dikatakan dari sudut pandang seorang Rangga Pamungkas, mahasiswa sastra indonesia. Hahaha"

"jadi? Kamu menilai ini wajar Ngga? Ah, manis di bibir saja paling. Dibelakangku kau mentertawakanku", ucap Nurdin dengan muka merana.

"cerita saja padaku Din! 4th kita sekamar. Kemana2 bareng. Satu organisasi, satu perjuangan pula", Rangga tetap merayu Nurdin agar mau buka mulut.

Nurdin cengar cengir. Tak kuasa menahan sesuatu yang ingin ia bagi dg teman sejawat. Namun, malu. "masa iya, aktifis macam Nurdin Kholid membicarakan ini. Bagaimana nanti repotasiku?" timbang nurdin dalam hati.

"din, kamu bukan robot. Disini nih," Rangga menunjuk dada Nurdin, "ada organ yang namanya hati. Kamu ngaku manusia kan?"

"jaga rahasiaku Ngga. Kamu sahabat terdekatku. Begini,....
(bersambung)

0 komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger