Setetes Tinta untuk Palestina


"kalau bukan karena Engkau ya Allah

kami tidak akan mendapatkan hidayah

tidak pula shalat dan bershodaqoh

ampunilah dosa kami sebagai tebusan

selagi kami tegar dalam dalam ketaqwaan

teguhkanlah penderitaan dalam peperangan

berikanlah kepada kami ketentraman hati

kami tidak ingin hidup jika musuh mengalahkan kami."
Itulah syair Amir bin Al-Akwa (dalam Syeikh Shafiyyurahman Al-Mubarakfury, 2007: 482-483).

Dulu Khaibar adalah sebuah kota besar yang memiliki benteng dan kebun-kebun sejauh enam puluh hingga delapan puluh mil dari Madinah, tepatnya ke arah utara. Kini Khaibar merupakan perkampungan yang cukup berbahaya.

Tidakkah kalian (Yahudi) ingat atau sengaja melupakan saat Ibnu Abil-Huqaiq turun dari benteng dan menawarkan suatu perundingan, agar orang-orang Yahudi yang berada di benteng tidak dibunuh, anak-anak tidak ditawan, mereka siap untuk meninggalkan Khaibar dengan segenap keluarga, menyerahkan semua harta kekayaan Khaibar, tanah, emas, perak, kuda dan himar, baju perang, kecuali pakaian-pakaian yang biasa dikenakan. (Syeikh Shafiyyurahman Al-Mubarakfury, 2007: 490). Itulah janji kalian (Yahudi) pada kaum muslimin yang dikatakan di hadapan Rosulullah Sallallahu 'alaihi wa salam.

Kawasan dengan luas sekitar 140 hektar yang terdapat Masjid al Aqsho, sebuah posisi yang terletak di bagian dunia paling tinggi yang dihuni manusia. Disana terdapat kaum muslimin yang dibombardir oleh Israel. Tanah ambiya itu menjadi saksi mengalirnya darah para syuhada, dari laki-laki hingga perempuan baik dewasa ataupun anak-anak. Sebuah pencapaian syahid di abad 21.

Dengan membabi buta Israel menghancurkan al Aqsho, mengusir dan membunuh saudara-saudara seimanku. Apakah kita menunggu al Aqsho rata dengan tanah, baru memberi reaksi pembelaan yang sudah jauh terlambat?

Shalahudin al Ayyubi saja, berhasil membebaskan Palestina setelah berjuang berpuluh-puluh tahun, melewati tiga generasi. Dimulai dari perjuangan Imadudin, Nurudin, dan baru berhasil pada masa Shalahudin.

Senin (22/3/2010) semangat membela al Aqsho menggelora di setiap dada aktivis dakwah kampus di Cirebon. Aksi solidaritas untuk Palestina ramai turun ke jalan.

Saudaraku, kaum muslimin Palestina. . . Ada doa dari pemuda islam Indonesia untuk kalian. Ada dukungan dan teriakkan kami untuk kalian. Dan ada goresan pena kami untuk kalian. Baru ini yang bisa aku lakukan. Teruslah berjuang karena Israel tetap tak punya nyali walau dengan tang dan rudal-rudalnya. Mereka tetap takut melawan lemparan batu anak-anak palestina. Rasa takut itu bukan ditimbulkan karena peralatan perang yang canggih tapi Allah lah yang menyelipkan rasa takut di hati tentara israel. Oh, intifada. . .

Perjuangan ini tidak mengenal kata "selesai dan berakhir". Allah hanya menuntut amal bukan menuntut hasil, Rahmat Abdullah (dalam Warisan sang Murobbi: 176) begitu sejuk mengisahkan,
"Izzudin al Qassam nampak begitu simpatik dalam senyumnya yang lepas. Darahnya yang segar beraroma harum kesturi, menambah suasana damai dan sejahtera."

Harusnya kita ingat pekikan Rosulullah SAW saat tiba di pagar Khaibar, "ALLAHUAKBAR, RUNTUHLAH KHAIBAR!! ALLAHUAKBAR RUNTUHLAH KHAIBAR!"

Terkenang. . . Selalu Ku Kenang.

Ada apa dengan matahari malam ini? Sirna tanpa sehelai semburatpun. Sedahsyat inikah malam sampai mengalahkan mentari yang lelah merajut waktunya? Oh, aku meneteskan air mata pada keikhlasan murossat. Ia tersenyum saat cinta yang ia miliki pergi mengejar cinta yang tak bisa ia berikan. Tapi, ia tersenyum. Tersenyum sambil melantunkan doa yang belum usai karena pedang memisahkan kepala dan tubuhnya. Tak berdosa tapi mati diperlakukan seperti pendosa. Murossat. . .

Aku sudah lelah melalui malam yang sangat mencekam. Aku ingin mengalahkannya dengan putihnya fajar yang dibuat oleh rotasi bumi. Sedalam inikah aku jatuh? Tak jua kutemukan yang kucari. Gersang dan hanya sepi.

Saat ini aku hanya ingin tidur di padang rumput hijau yang bersih. Membiarkan tubuh dihujani sinar matahari. Hanya ada aku, suara burung, dan langit biru. Tak perlu ada yang lainnya.

Yang aku ingat hanya lari-lari kecil kita dibawah lindungan daun pisang saat hujan lebat. Aku rindu.
Yang aku ingat adalah lagu indah milik kita yang kita dendangkan dikala senja. Aku rindu.

Dan rindu itu akan terbalas saat gerhana ke-77 terjadi. Kita akan melihat matahari masuk ke dalam air. Lalu kita hanya diam tanpa kata sambil merenung masing-masing. Aku masih menjaga untaian cerita kita sahabat. Aku rindu. Sangat rindu.

Rasanya menghabiskan biji bunga matahari saat senja yang penuh dengan semilir angin dan lambaian padi kini terlalu menghantuiku. Apa aku merasa kesepian karena kalian tinggalkan? Rindu . . . Cinta. . . Aku kangen. Kapan kita bisa berlari bersama sepeti foto-foto 7tahun silam yang masih ku simpan. Ada gambar kita; Gadis, Rindu, dan Cinta.

Mimpi-mimpi Senja

Aku tahu gunung itu terjal dan kau boleh mengatakan "mustahil kau mampu mendakinya" tapi, ada urat keyakinan yang masih terpasung dalam rintihan doa2 malamku.

Boleh saja kalian berkata "mustahil kau bisa mengarungi padang es tanpa mantel2 tebal" tapi kehangatan masih membakar jiwaku.

Aku akan baik2 saja. Akan selalu mencoba bertahan diatas kedua kaki yang kadang terasa linu. Aku bilang, "tak ada yg perlu dicemaskan. Inilah langit biru. Dan terik matahari itu tak kan mampu mengalahkan malam. Air mata adalah wujud kemanusiawian yg menyadarkan diri bahwa aku masih memiliki kelembutan.

Jika tak ada lagi senja yg bisa kutatap. Tak ada lagi suara merdu burung yg kusukai maka mungkin sampai disitu aku mampu menatap. Bila akhirnya harus ada darah yg berserakan atau aliran air mata yg membanjiri maka tak akan kusesali. Itulah tenaga perjuanganku.

Rindu. . .Cinta. . .mimpi2 senja itu aku, tak tahu apakah aku masih kuat menggenggamnya. Rasanya aku seperti menggenggam angin. Apa sebenarnya? Kosong tapi ternyata ada.

Hari ini aku rindu masa2 itu. Tak mengapa Rindu. . .Tak mengapa Cinta. . .aku disini baik2 saja. Hanya saja saat ini aku terlalu merasa kehilangan. Ah, mungkin saja aku hanya membutuhkan sedikit lelucon dg menonton sidang kasus century.

Aku, Rindu dan Cinta hari ini ada di tempat yang sama. Entah mengapa hanya gejolak rindu yg membara tanpa sua. Aku, Gadis yang masih terjebak dalam rutinitas menjemukan. Tak sempat datang di hamparan permadani hijau tempat kita merenda jutaan mimpi.

Rindu? Dia pun tak melongok kesana. Aku th dia punya bnyk waktu hanya saja dia sangat takut Aku dan Cinta tak ada disana.

Dan Cinta? Cinta tengah pilu dengan deritanya. Mengurus Bunda yang terkapar tak berdaya diatas kasur. Aku paham benar dia tak juga akan menikmati senja.

Pada akhirnya kedekatan kita tak bisa mempertemukan kita. Semua diporak-porandakan oleh hajat masing2. Timbunan rindu kita terpaksa harus kita tekan2 agar tak mengapung dan menguasai perasaan.

Kita saling mengetahui rasa kita masing2 namu kita tak punya cukup daya untuk menurut pada kerinduan. Dan diwaktu yang sama2 kita tahu kita saling meninggalkan senja. Terbang melayang. Entah kapan akan jumpa. Saat kita lelah atau saat kita puas atau saat semua telah kita capai?

Gadis spt ku akan menjalani hari seperti biasanya.
Rindu akan menjalani hidup seperti layaknya.
Cinta akan mengisi waktu dengan kesibukannya.

Dari tahun yang tak mau ku sebut aku, sangat takut memandang senja di tempat kita mengukir mimpi. Walau aku ingin. Kenapa? Karena aku mau kita bisa menatap senja bersama lagi sambil mentertawakan imajinasi2 liar kita.

Aku yakin kita bisa melihat matahari tenggelam ke dalam air sambil memainkan permainan kita diatas pasir pantai putih seperti adegan "beach boys" yang kita sukai. Kita akan melupakan semuanya. Hanya ada kita dan mimpi2 kita yang akan kita bicarakan panjan2 di rumah kayu yang kita khayalkan.

Ju2r saja aku malah jadi takut. Takut jikalau aku tak bisa menggenggam janji2 kita. Hahaha. . .tapi aku mau mewujudkan semua yg pernah kita ukir susah payah.

Kau sudah dijakarta dan akan ke Thailan. Kamu sudah mengambil profesi yang akan membawamu ke Papua. Dan aku? Aku msh disini. Mengumpulkan bnyk kekuatan untuk menuju Benua Impianku. Lalu? Kita akan benar2 berpisah. Tempat kita menikmati senjalah yang akan menarik kita untuk bertemu nanti.

Dan bukan karena Rindu dan Cinta saja aku melakukannya tapi, karena Umair pun menungguku di tempat yang telah aku dan ia janjikan.

Cahaya Putih di Kandang Macan Ali

Adzan magrib yang dikumandangkan anak masjid menelan surya yang sudah tak berdaya. Burung kembali ke peraduannya tapi aku tahu dia masih juga setia untuk PEMUDA dan PERJUANGAN.

Dialah saksi sejarah peradaban pemuda bermasa 4 tahunan itu. Aku terheran-heran mengapa dia tidak pergi saja mencari kebahagiaan yg selayaknya ia dapatkan. Kenapa ia rela dijaga satpam yang tak bisa diajak berbincang!

Sore yg sendu itu hujan lebat mendera dan membuatku terjebak di bawah naungan lambang akademis. Sendiri dan sepi.

"sendiri saja?ah, lagi2 kamu ada disini. Masih tak bosan mendengar curahan hatiku?" suara macan ali mengagetkanku.

"heh?" aku tak mengerti "sedih lg gara2 paha2 yg molek?"

"bukan" macan ali menggelengkan kepalanya. Ju2r saja kadang timbul rasa takut jika berhadapan dg nya. Aku takut kalau dia mencabik2ku.

"aku ingin bercerita tentang cahaya terang yang membuatku tak mau pergi dari sini"

"sepertinya menarik. Apa itu?" tanyaku penasaran.

"kau tahu? dipojok kandangku itu ada cahaya paling terang. Disana ada cerita tentang cinta dan penderitaan. Air mata dan gelak tawa. Ada ilmu dan perjuangan, NURUL ILMI. Aku tak tahu kenapa pemuda yang jumlahnya belasan itu bisa membuaku tak berdaya. Mampu mengalahkanku yang bertaring. Sujud mereka seolah merontokkan taringku jika aku ingin memangsanya. Cahaya itu terlalu menyilaukanku saat aku berusaha menerkamnya. Dan sekarang aku tahu bhw aku mencintai cahaya itu"

"dari benci jd cinta?"

"akan sll cinta. Aku iri. Iri pada mereka. Ikatan mereka bkn ikatan persahabatan. Bkn ikatan lembaga. Bkn ikatan krn hobi dan kegemaran tapi. . . "

"tapi apa macan ali?"

"sebuah ikatan yg membuat Rosul dan para syuhada iri. Ikatan cinta atas Maha Pemilik Cinta. Tangis dan derita mereka aku saksikan. Yang aku tahu mereka begitu sering saling mendoakan. Yang laki2 dibilang kampungan oleh pemuda sebayanya tp dimataku merekalah pemuda teguh pemegang prinsip yg hak. Yang perempuan dibilang oleh teman2 sejawatnya kuno dengan kerudung yang berjuntai panjang tapi dimataku mereka terhormat. Kau tahu? Aku punya rahasia besar atas mereka. Itulah yang membuat mereka tak gentar dengan badai. membuat air mata menjadi kekuatan dahsyat."

"rahasia macam apa itu? Cobalah beritahu. Aku penasaran"

"baiklah. Akan aku ceritakan padamu. Aku percaya padamu. Sebuah doa indah yang dilantuntak sangat syahdu dan indah dr hati mereka,
"YA ALLAH, sesungguhnya Engkau tahu bahwa hati ini tlah berpadu berhimpun dalam naungan cintaMU. . .
Bertemu dlm ketaatan. . .
Bersatu dalam perjuangan. . .
Menegakkan syariat dlm kehidupan. . .
Kuatkanlah ikatannya. . .
Kekalkanlah cintanya. . .
Tunjukilah jalan2nya. . .
Terangilah dg cahayaMU yg tiada pernah padam. . .
Ya ROBBY. . .
bimbinglah kami. . .

Lapangkanlah da2 kami dg karuni iman dan indahnya tawakal padaMU. . .
Hidupkan dlm ma'rifatMU. . .
Matikan dlm syahid dijalanMU. . .
ENGKAULAH PELINDUNG DAN PEMBELA. . .
Kuatkanlah ikatannya. Kekalkanlah cintanya. Tunjukilah jalan2nya. Terangilah dg cahayaMU yg tiada pernah padam. . .
YA ROBBY bimbinglah kami" itulah doa2 mereka yang membuatku merinding." mata macan ali berkaca-kaca. Sambil pergi meninggalkanku. Ah, mungkin dia malu menangis haru di hadapanku.

Wahai ukhti. . .wahai akhi. . .tahukah? Aku bergetar. Jiwaku berguncang. Hampir 4 tahun kita belajar ukhuwah ini. Dari tiap tahap ukhuwah yang kita rajut dg tangis dan tawa. Itu adalah indah. Ku ucapkan trimakasih atas segalanya. Kalian mengajariku banyak hal.

Jazakumullah khairon katsiron. .

Mendung di Wajah Lani

"Februari ini adalah bulan-bulan akhir musim dingin. Jaket-jaket tebal akan segera di gulung. Ingin cepat2 summer," Itulah kabar dari seorang teman dunia mayaku yang tinggal di Belanda sekarang ini.

Jika di Belanda musim dingin tinggal di ujung tanduk maka di sini masih musim kemiskinan dan pengangguran.

Kepulangan lani membuatku terlalu banyak membuka telinga. Dia tak bosan-bosan cerita panjang lebar. Dan tingkahnya yang paling menyebalkan adalah dia terlalu pandai muncuri perhatian keluargaku, terutama ibu.

Aku tidak tahu jelasnya kapan dia bisa begitu dekat dengan keluargaku. Curhat mengenai apa saja pada ibu. Dia bagai keluarga kami sendiri. Aku sangat tahu jika dia menelfon ketika masih di taiwan dia, lebih banyak ngobrol dengan ibu. Jujur saja kadang aku cemburu dengan kedekan lani dan ibu. Aku cemburu jika ibu memberikan perhatian padanya.

Tapi kali ini tak seperti biasanya. Lani yang selalu ceria jika ngobrol dengan ibu tampak aneh. Mukanya menunduk saja. Matanya merah. Biasanya kalau lani sedang curhat pada ibu aku tak akan mengganggu. Membiarkan lani asyik meluapkan semuanya. Aku merasa ada sesuatu yang membuatnya sampai seperti itu. Ada apa?

Terpaksa aku mendekat. Bermaksud untuk merubah suasana, "yah. . .raja ngebanyok bisa sendu juga ya? Ckckck. . .mata merah. Muka ditekuk. Ada apa? Patah hati? Kemarin keliatan datar saja. Nah sekaran?"

"eh. . .si gadis malah menggoda," ibu melindungi Lani.

"Badai pasti belalu Lan! Gak ada tuh pacaran. Kuno! Langsung nikah aja. Usir Lisa jauh2. Dia sudah nikah."

ibu melotot padaku setelah aku bicara itu. Aku pikir Lani akan membalas kata2ku dengan banyolan khasnya. Sepertinya dia benar2 patah hati. Aku diam dan langsung pergi meninggalkan ibu dan Lani. Mungkin lebih baik jika Lani bicara dengan Ibu saja.

Sepulangnya Lani dari rumah ibu langsung mendekatiku, "gadis. . . Jangan diulangi lagi kata2 tadi. Lani bukan sepertimu."

aku hanya diam. Aku merasa bersalah pada Lani. Aku melihat diriku sendiri dengan Kerudung berjuntai panjang dan semua keyakinanku. Lani...maafkan aku jika kata2ku membuatmu tersinggung.

"gadis. . .lani itu bukan pemuda sepertimu dan teman2mu. Jika teman2 yg sering kau ceritakan pada ibu adalah pemuda yang lbh suka ada di masjid dan ngaji maka Lani masih lebih tertarik dengan nonton film di bioskop atau nongkrong di kafe."

aku semakin merasa bersalah. Akhir2 ini aku sering menyudutkannya dengan prinsip2ku di saat dia mengalami patah hati. Argh!! Tapi salahkah? Tidak ada yang salah kupikir. Oh, caraku mungkin yang tak tepat.

"jadi gimana bu?" tanyaku pada ibu

"ya sudah. Semua sudah lewat. Dia takut sama kamu dis!" jawab ibu sambil pergi.

Jemu Namun tak Semu

Radiasi mentari ditambah gemuruh senandung pagi membasahkan hati para pemakna kehidupan. Jika saja aku boleh bertanya pada Robert Hook yang pertama kali mengemukakan istilah sel pada tahun 1665, "apa makna hidup bagi ilmuan sepertimu?" aku penasaran dengan jawaban yang ia berikan padaku. Tapi aku juga memikirkan seperti apa nasib orang2 di bawah kekuasaan pemerintah Hindia Belanda pada masa itu. Sebuah "negasi" dalam logika matematika mengapung dibenakku.

Ah, aku menggeliat. Senyum semerbak. Ya! Hari ini aku melihat seseorang yang bercita-cita jadi petani kini menjadi tim peneliti di LHC. Ada di swiss. Terlibat dalam penelitian CERN. Di pusat penelitian nuklir. Aku ingin bertanya padanya, "seberapa kuat dia bertahan?" tapi tak juga ia balas e-mailku. Mungkin dia sibuk. Dialah satu diantara 3 orang Indonesia yang mengusai tentang fisika parlementer.

Ada apa sebenarnya? Di pagi ini aku masih juga mencari.
Beribu mimpi. . .berjuta sepi . . . .bagai teman sejati. Harapan itu. . .aku masih ingin menembusnya.

Semua berkas-berkas itu akan kukirim januari tahun depan. Tapi semuanya tiba2 terhenti. Tidak akan lengkap karena kurang satu saja. Ingin menagis saja rasanya. Tapi sial! Menangis tak menyelesaikan masalah.
#######

"Dialah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya, dan Dialah yang menetapkan tempat-tempat orbitnya, agar kamu mengetahui bilangan tahun, dan perhitungan (waktu). Allah tidak menciptakan demikian itu melainkan dengan benar. Dia menjelaskan tanda-tanda (kebesaranNya) kepada orang-orang yang mengetahui." (QS. Yunus : 5)

inikah tempat itu? Aku menyusuri degung-gedungnya. Melihat padang rumput yang luas. Profesor2 yang ahli di bidangnya. Tempat yang tidak menjemukan. Dari tiap sudut ada cahaya terang.

Jauh di dalam benua ini kita bertemu. Terbang dari pulau yang penuh janji. Indah negeri yang kita tapaki, namun hati kita bersama negeri kita sendiri.

Aku hajar kerinduan itu dengan menonton pertunjukan di gedung teater. Melupakan tugas2 kuliah yang masih menumpuk. Sedikit memberi kesempatan pada otakku untuk bersantai. Esok aku berencana mencarinya. Di tempat yang pernah kita janjikan dulu.

Pagi2 sekali aku keluar dari flatku. Ingin segera sampai disana. Beberapa jam saja aku duduk di tempat itu. Menanti. . .menunggu. . .tapi tak ada siapa2. Kau sudah sampai? Atau kau masih dalam perjalanan? Atau kau telah lelah menungguku dan pergi akhirnya?

"gadis bangun. . .ada Lani datang," suara ibu itu menyadarkan mimpiku. Ah, tadi itu hanya mimpi. Aku jadi tersipu sendiri.

Aku kaget dengan tamu itu. Ibu bilang Lani? Dia pulang? Dia sudah pulang. Ah Lani aku rindu. Akhirnya ada juga yang datang dikala semua pergi meninggalkanku.

Aku langsung berlari menuju ruang tamu. Aku lihat dia berdiri di mulut pintu. Badannya tinggi dan wajahnya yang tampan tersenyum padaku. Dia membawa banyak sekali bingkisan oleh2 yang kupesan sewaktu dia menelfonku. Aku tersenyum geli melihatnya.

"nih pesananmu gadis," katanya sambil menyerahkan semua plastik2 dari tangannya padaku.

"wah . . .terimakasih. Tak ada yang terlewatkan"

"temani aku menemui lisa, gadis pujaanku. . ."

aku melotot kaget. Sudah 3tahun dia pergi tapi masih juga ingat pada bunga desa itu. "serius mau kesana? Siap sakit hati?"

"lho kenapa?"

"lisa sudah menikah tiga bulan lalu."

"oh begitu." ucap lani datar. Aku pikir dia akan mengucapkan kata2 patah hati tapi tidak ternyata.

"hei, kenalkan umair padaku"

aku kaget mendengar itu. Sejak kapan dia tertarik dg topik ini? Kenapa tiba2 th? Oh blogg ku. Habis sudah aku hari ini.

"emang dia tampan? Tampanan mana sama aku dis?"

aku tertawa terpingkal-pingkal. Ah lani, kalau kau tahu siapa umair kau pasti bisa pingsan karena deskripsimu meleset tota

Umair #1

Tidak sayang. . . Bukan itu. Sungguh bukan. Kau salah mengartikan air mataku. Ini bukan kepiluan tapi hujan kebahagiaan. Kau bertanya, "kenapa bintang di langit tidak semuanya berkedip?"

aku katakan padamu yang berkedip-kedip itu bintang tapi yang tak berkedip itu adalah planet. Aku dan kamu hanyalah planet yg memantulkan sinar dr bintang itu, Bintang putih paling cermerlang.

Umairku, jika kau bertanya siapa baju putih itu? Dia lah yang menginspirasi langkah kita. Siapa si putih penuh pesona itu? Yang kau impikan itu sayang. Yang tak bisa kau pandang mukanya. Iya!! Yang dengan menggebu kau ceritakan tentangnya di malam2 kita. Pahamkah?

Digulita kau membelai rambutku. Akhirnya aku harus katakan kejujuran padamu bahwa aku telah menemukan satu bab kebahagian yang belum pernah kutemukan sebelumnya saat bersamamu.

Di bawah gerimis malam kita melukis kebahagiaan di atas kanvas kehidupan. Diiringi dendang serangga malam kau bilang, "jika aku malu mukaku akan berubah jadi lebih coklat". KONYOL. . .!!

Aku tak akan lari apalagi melupakan janji. Sudah kau ikrarkan kau menungguku disana. Ah, dengan dahi berkerut aku mencoba mengartikan itu. Lalu kau menggodaku, "payah! Tak mengerti."

"aku akan datang di tempat itu"

cinta telah pergi dan rindu sibuk menterjemahkan dirinya. Biarkan saja!! Biarkan mereka merenda mimpi-mimpinya sampai lunglai.

Aku katakan padamu aku masih haus melakukan penemuan karena ilmuan2 banyak yang dibunuh secara tak beradab. Apakah kau tetap setia mendukung dan menyanggahku? Dan kau masih juga menghujaniku dengan puisi-puisi gravitasi.

Kau terlalu serius. Biar kuajak kau menyaksikan teater monolog yg menawan. Atau kita berkeliling kota naik beca malam hari sambil mendengar nyanyian penyanyi jalanan?

Tiap sekon waktu itu adalah saksi "pahatan mimpi" kita. Biarkan! Biarkan mereka mengatakan kita adalah kaum irasional. Tak perlu takut karena dalam sesuatu yang real terdapat yang rasional dan irasional. Itu kenyataan. Sudah. . . tak perlu dihiraukan karna itu adalah aksioma.

Kau mau terbang bersama? Kita akan terbang dengan tarikan gravitasi matahari. Atau dengan balon gas kita jelajahi gunung dan samudra?

Oh ombak samudra akan mengoyak-oyak kita. Tak perlu cemas. Kita akan menggulungnya. Angin akan meniupkan hembusan harapan yang membuat kita tetap melangkah.

Tapi bagaimana?aku mudah bosan. Tak perlu takut karena aku teguh pendirian.

Mari kita berdendang. . . .menyapa hujan dan tersenyum pada pelangi serta menyingkirkan badai.
Powered By Blogger