Senja ini burung gereja bercicit terus menerus walau dingin menusuk. Adzan mendengung menembus palung hati. Suara merdu itu menyelinap lembut pada qolbu yang kering sementara air mata masih jua meleleh.
Gemericik air mensucikan kami. Menghapus gamang dan penat yang tercipta dengan ruku dan sujud panjang penuh pengharapan. Engkau Maha Mendengar. . .
Aku melihat dia duduk. Berhadapan dengannya. Mendengarkan kisahnya. Juni. . . Juni. . .oh Juni. Aku tahu betapa beratnya beban hidupmu cinta. Aku tahu!! Aku sangat bangga padamu.
"Gadis, sebenarnya aku tidak ingin pergi tapi mimpiku itu menarikku. Aku bagai besi yang tertarik oleh magnet"
"aku mengerti cinta. Kita akan menikmati senja seperti dulu dg Rindu"
"Gadis, sore ini aku akan pergi ke pemakaman. Ikutlah denganku. Aku rindu sekali pada nenek"
hanya ada anggukan. Berjalan. Ia berjalan sementara aku mengikutinya dari belakang. Perjalanan tanpa kata. Tanpa canda. Mulut terkunci padahal ada jutaan kata yang harusnya terlontar. Entahlah. . .siapa yang mencuri keberanian dan kalimat-kalimat itu.
Langkah kami yg diberisikkan oleh angin telah sampai pada pangkalnya, kuburan. Bau bunga kamboja putih yang menusuk. Nisan-nisan tak terurus yg ditumbuhi ilalang. Aku tak bisa terus diam.
"dimana kuburan neneknya?" suaraku sepertinya mengganggu suasana kuburan yang sepi.
"sebentar lagi"
ia berhenti di kuburan yang sudah berlumut. Duduk. Hening. Dia meneteskan air mata. Aku tidak mendengar ia berkata-kata sama sekali tapi aku dapat memahami air matamu cinta. Aku ingat dulu saat kau berlari untuk sebuah harapan yang membuatku tersengal-sengal mengikutimu.
"duduk gadis," tiba-tiba mulutnya memecah kesunyian "kau tahu gadis rasanya kehilangan? Kau tahu bagaimana rasanya ada di negeri orang tanpa ada yang menciumku saat aku rindu? Tidak bisa berbagi di hari kemenangan?" ia terisak dihadapanku dan makam neneknya.
Aku hanya diam. Tak bisa menjawab pertanyaan2 itu. Suara ilalang-ilalang yang ditiup angin seolah menjawabnya.
"kau tidak mengerti bukan gadis?" nadanya makin tinggi dan air mata makin tak terbendung. Sementara aku? Kupaksa-paksa menahan air mata agar tak menetes.
Rindu. . .rindu kemana kau rindu? Aku tak bisa sehalus dan sebijakmu. Mungkin kau yang mampu menenangkan gejolak Cinta. Ah rindu . . .kau tak ada disini bersama kami.
"sudahlah. . .kau tak perlu turut sedih. Itulah beban yang harus cepat-cepat aku muntahkan. Maaf ya Gadis. . ."
"ya, kau tahu? Aku akan ada jika kau perlu aku," aku meyakinkan dan ia hanya tersenyum saja.
"kita pulang. Aku antar kau pulang Gadis"
warna emas matahari senja tiba-tiba menghias langit barat. Seolah memberikan kesempatan pada kami untuk menikmati detik-detik penghabisan. Tiga tahun. . .tak kan kupandang wajahmu cinta.
Ia peluk aku. Pelukan terakhir sebelum pergi. Erat. Penuh dukungan tapi tak luput dari tangisan. "doakan aku gadis. Besok aku kejakarta untuk memantapkan bahasa thailand selama 3 bulan. Visa dan pasport sudah tak ada masalah. Jaga dirimu baik-baik"
"ya. Kau juga jaga diri disana. Jika ada waktu senggang kirim e-mail atau telfon"
matahari yang makin redup memberi tanda bahwa saatnya berpisah dengan senja makin jelas. Mengganti hari dengan taburan bintang dan sendunya sinar bulan.
"oh ya, kita akan melihat matahari jatuh kedalam air saat aku pulang nanti" ia berkata sambil tersenyum.
"ah, aku tak mau dengar janjimu. Sudahlah pulang sana. Istirahat agar esok kau bugar" aku berkata sambil tersenyum.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar