Siang itu mentari tak menyengat. Langit diliputi awan gelap saja. sungguh tak ada pendar biru yang menandakan kehangatan. Gelap!! Langit bukan saja murung tapi ia menangis sejadi-jadinya. Kau tahu? Masa macam itu membuat niat mengkerut atau kerontang saja dalam kedipan mata. Cobalah simak baik-baik saat macam itu.
Tapi kenapa burung kecil masih juga bernyanyi? Atau kita tak begitu pandai memahami? Iya!! Kita tak juga bisa mengerti. Apa lagi memahami. Akui saja jika hatimu menjerit penuh nanar. Tak usah dipendam dalam-dalam. Kau tahu? Karena bola matamu yang hitam bercerita sedetail-detailnya tentang keadaan jiwamu yang tak karuan. Tidak!! Tidak ada yang menyuruhmu berpeluh pilu. Ingat saja kata-kata sastrawan itu,
“seperti burung-burung yang mencicit atau bernyanyi, sama saja baginya apakah itu suatu duka atau suka. Setiap suara burung adalah nyanyian.”
(kuntowijoyo, 1970: 77)
Ah….sudahlah. hiduplah layaknya orang hidup. Kembangkan payung cintamu lalu langkahkan kaki karena hakikatnya hidup adalah gerak. Jangan berfikir!! Sekali-kali jangan. Jika kau ajak dirimu berfikir maka kau akan merasakan rasanya terpenjara oleh pikiran-pikiranmu.
Kau mau tahu siapa kamu? Ha…ha…ha… janganlah berkelakuan seperti badut. Jalankan peranmu. Itu saja. kau hanyalah bagian dari alam raya ciptaanNya. Sudah!! Tidak ada yang menyuruhmu berpikir kawan!! Jelek sekali mukamu jika kau paksa juga. Masih juga kau tak percaya?? Oh kawan… jagad raya itu luas dan kau masih juga bertanya siapa dirimu? Sekali lagi kembangkan payung cintamu.
Saat langit menangis pilu kau harus tetap gembira. Tak usah turut lara karena tangisan langit adalah bahagia pula. Rayakanlah seperti amfibi yang merayakan tetesan air mata dengan nyanyian suka cita. Itulah kemerdekaan!!! Merdeka dari jajahan kolonialis Jepang dan Belanda. Merdeka dari derita. Hidup yang merdeka. Rayakan maka kau akan raih ketenangan seperti burung melayang di langit bulan Juni yang dihiasi awan putih yang tipis.
Kau melangkahkan kakimu yang kurus dibawah payung cintamu. Bibirmu itu indah rupanya. Merah warnanya. Tesenyum pula…. Malaikat jadi terpikat olehnya. Bertasbih malaikat tiada henti-hentinya. Memuji….
Memuji siapa?
Bukan memujimu tapi memuji Dia.
Janganlah kau teriakkan duka diatas bumi. Dibawah kakimu itu ada harta karun yang tak perlu kau tangisi tapi, cukup genggam saja ditanganmu. Jangan selipkan dihatimu.
Payung cintanya terbang…..
Payung cintanya terbang disapu badai. Kemana hendak ditemukan lagi? Mata tak dapat melihat. Tertutup oleh kabut gelap. Dipaksa juga mencari kuat-kuat. PARAH!! Tak ditemukan hingga detik yang belum ada penghabisan.
Kau bilang, “tanya satpam!”
Satmam menjawab, “tak ku genggam”
Kau bilang, “tanya tukang sapu”
Tukang sapu menjawab, “mana kutahu”
Lalu… kemana lagi harus mencari payung cinta yang hilang itu? Jika saja 1000 payung mahal terjejer di hadapan mata yang telah sayu maka masih juga memilih payung cinta itu.
Payung cinta darimu yang kau berikan dengan rasa cintamu itu entah ditangan siapa. Diperlakukan sepeti apa dia? Ada sebuah harapan datang dari angin utara.
Di tangan siapapun ia semoga payung cinta yang telah lenyap dari genggaman dapat menaungi pemakainya.
Kenapa?
Ku bilang, “disana ada sejarah cinta penuh pesona. Dirajut dengan canda dan amarah. Amarah cinta kawan. Dibalut dengan tawa dan air mata. Air mata cinta.
Kenapa juga harus pilu? Masih ada pundakmu yang bisa kugunakan untuk bersandar. Masih ada pelukan darimu. Masih ada marah cintamu. Jika hujan datang lagi maka, cintamu yang langsung menaungiku. Disaat kau naungi aku dengan cintamu maka akan kubalas dengan tatapan lekat. Memelukmu erat dibawah gerimis yang memikat di tengah taman mawar yang segera kita tinggalkan. Dan akan kubisikkan,
“AKU BANGGA MENCINTAI DAN DICINTAIMU”
Apa reaksimu?
Kau hanya tersenyum saja. tak berkata apa-apa.
Kunikmati senyummu. Kuartikan senyum itu seperti,
Kamus Empat Kata Berhuruf Awal G, 1
GALAS: bukan jauh jarak yang menakutkan, bukan? Tapi
Seberat apa kau buat beban, di pundak, dan tak ada
Yang hendak diletak, tak ada yang boleh kau serak.
Perjalanan sendiri telah kau mulai sejak kaki bergerak,
Sejak nafas disentak. Sejak kau ukur seberapa tinggikah puncak.
Jadi bukan jauh jarak yang menakutkan, bukan?
GALIAS: kau belum sampai, ini seperti mulai yang lagi mulai,
Ada perahu bertiang tiga, ada samudra seluas tujuh wasangka,
Kau belum sampai, pelabuhan ramai memang membuai,
Rumah dikenang rumah dijelang, diantar badai ke badai,
GANCANG: ada yang mesti lekas kau buat tuntas, sebelum
Tanganmu tak lagi tangkas, sebelum langkah tinggal kulai,
Sebelum nafas sisa sengal, ada yang harus segera kau
Bikin selesai, sebelum waktu habis mengukur umur.
GALIR: lalu tingal sisa hari yang cair, kau duduk mengenang
Semua kenang, bentang petang amat lapang, semerbak gelak,
Kau lihat sepasang sepatu tua di rak, jaket koyak. Topi lecak,
“lihat…” kau tunjukkan tongkat kayu ke kaki langit.
(hasan Aspahani. 2009: 23)
Ah kau, tertawa terpingkal oleh puisi yang ku baca. Kau bilang, “apa peduliku dengan puisi yang kau bacakan? Aku hanya peduli denganmu.”
“ha…ha….ha…” aku pun tertawa
****untuk seseorang yang sangat berkesan dipertemuan pertama. Pertemuan yang tak akan pernah disesali. Trimakasih payung cintanya.****
0 komentar:
Posting Komentar