Aku berjalan diterik matahari yang membakar. Panas dan menyengat. Tapi jika tidak dipaksa kaki tak kan melangkah jua. Tidak ada kuntowijoyo di siang macam ini. Yang ada hanya keringat yang asin rasanya.
Tiga orang wanita lanjut usia itu bercakap-cakap. Aku kenal benar dg bu niti yang sering dititipi salam oleh mas anton, pereman paling sangar itu. Aku juga kenal wanita satunya lagi tapi tidak dengan yang sedang berdiri itu. Siapa dia? Siapa? Terlihat tanpa beban atau ia sudah merdeka atas ambisikah?
Lalu aku berjalan mendekati tiga wanita yang telah lanjut usia itu. Aku berdiri diantara mereka. Hanya bisa tersenyum saja. Oh. . .tertawa juga.
Wanita yang tak ku kenal itu membuatku terkesima. Dia bernyanyi sambil menari dihadapan aku dan dua wanita seusianya. Kau tahu? Ia nyanyikan kidung-kidung jawa. nyanyian itu membuat aku merona, "sekolah lah yang tinggi sampai jadi profesor. Bisa sukses dan mensukseskan orang lain. Berguna bagi agama" kalimat itu ia nyanyikan dengan bahasa cirebon. Sebuah dukungan datang dari mereka yang memiliki sedikit kemungkinan.
Wanita itu siapa? Apa dia diutus datang bernyanyi-nyanyi dan menari oleh Robb padaku yang sedang diamuk keputusaan? Aku tersenyum sekaligus ingin menangis. Ada sebuah keindahan saat aku ada di antara mereka. Di terik siang yang sunyi. Yang orang2 sibuk dg ambisi2 tp siang ini bagiku seolah pagi yang sejuk dan menenteramkan.
Ada di antara mereka membuatku terpaku. Tak ingin pergi padahal tas sudah penuh buku2.
"mau berangkat kapan gadis?" tanya bu niti.
Aku gagap menjawab, "oh, ya sekarang"
wanita itu terus saja bernyanyi. Nyanyiaanya seolah doa untukku. Seolah motivasi terbaik yang benar2 aku butuhkan. Matanya menatapku seolah benar2 tahu pertanyaan2 hatiku. Siapa engkau nek?? Benarkah aku harus menjadi orang yang kau deskripsikan di lirik lagu2 spontanmu itu?
Engkau budayawan luar biasa. Mungkin hanya di waktu ini dan kali ini saja bisa bertemu dg budayawan wanita tradisional sepertimu.
Aku pun berangkat dan meninggalkan mereka.
"Menakjubkan sekali hidupmu ini dis," kataku dalam hati saat pulang hari ini. Ada hal yang banyak ku pahami. Mencoba mengerti penderitaan. Betapa tidak? Setiap pulang sore atau malam adalah menakjubkan. Sungguh yang naik mobil mewah itu tak kan pernah menikmati keindahan cinta seorang ayah yang papa untuk anak dan istrinya. Ya!! Disaat hari tlah larut itu kuli2 pelabuhan yang khas bau keringatnya berhamburan memenuhi angkot. Duduk dengan muka payah tapi penuh kepuasaan. Membagi upah 15-30rb an. Maka dialog yang sering aku dengar dari mulut2 mereka adalah, "ini untuk belanja istri dan uang saku sekolah anak besok". Ah. . .keindahan di tengah angkutan kota yang menarik ongkos 'pengertian' pada mereka.
aku tersenyum melihat wajah2 mereka atau bercakap tentang banyak hal dengan mereka. Bukan! Percakapan kami bukan tentang kursi anggota dewan bukan juga iptek yang paling up to date tapi perbincangan hidup yang memberi kepuasan batin.
"kuliah kamu nak?" tanya kuli pelabuhan yang sering kujumpai karena selalu seangkot.
"ya"
"bagus. Yang rajin. Kamu orang punya ya, tidak tahu anak bpk bisa kuliah seperti kamu atau tidak," nadanya pesimis
"bisa pak. Aku pun anak petani biasa. Rumahku pernah didatangi polisi gara2 keluargaku bnyk hutang," jawabku lalu aku melanjutkan "saat awal kuliah aku merasa menjadi beban keluarga. Menangis disudut kamar saat polisi pulang. Tapi ibu berkata 'kamu nangis kenapa? Tdk usah nangis dis. Kuliah saja yang pinter'. Gak enak ya pak keadaan yg serba kurang?"
"kamu tidak lelah? Sampai kapan kamu bisa bertahan?"
"akan terus bertahan sampai aku jadi profesor seperti profesor terbaikku"
"luar biasa"
"mohon doanya pak! Anak petani pun bisa jadi profesor" kataku sambil tertawa dan diikuti oleh tawa seluruh buruh pelabuhan.
"terus kalau kuliah suka beli buku?"
"ya beli dong pak. Kalau tdk bs beli ya pinjam di perpustakaan. Lumayanlah kuliah sambik kerja. Hasilnya bisa untuk beli buku dan ongkos kegiatan atau organisasi kampus yang diikuti."
"bapak akan saksikan gadis jadi profesor. Anak petani bisa jadi profesor"
"amin. . ." ucap mereka kompak.
Sebuah doa tulus dan ikhlaslah yang akan mengantarkan gadis menjadi profesor.
Cinta. . .Rindu. . .kita akan berjumpa di senja seperti yang pernah kita janjikan. Dengan menggenggam impian yang telah kita raih.
Sambil memandang kemilau senja kita tersenyum dan tertawa penuh makna. Atau kita akan terus berlari sampai tak ada daya lagi?
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar