
Inilah wajah-wajah rakyat jelata yang mengais rejeki di pasar-pasar tradisional, muka para buruh dan kuli yang mendapat upah harian. Sebuah usaha pencapaian kemakmuran. Itulah yang mereka inginkan. Kemakmuran? Benarkah mereka dapat mencapai kemakmuran? Atau hanya sekedar memenuhi hajat hidup hari ini? Pertanyaan macam itulah yang menari dibenak kita di tengah grobalisasi dan liberalisme yang memasukkan mereka ke kubangan kemiskinan. Ditengah ketakberdayaan sistem mereka mencoba untuk menterjemahkan hakikat hidup.
"Hakikat hidup sebenarnya terdiri dari 3, yaitu Life is a place of Worship (hidup adalah ibadah), Life is a place of Wealth (hidup adalah kemakmuran), dan Life is a place of Warfare (hidup adalah pertempuran)." (Riawan dalam Suryadilaga 2007: 4)
Layaknya kemerdekaan itu bisa kita raih dalam semua lini hidup kita tapi, apalah daya jika kita dibenturkan dengan teori sosiologi yang menyatakan bahwa, "manusia adalah makhluk sosial." bagi saya makna makhluk sosial bukan hanya dalam lingkup interaksi mengenai sikap yang berlandaskan nilai dan norma tetapi termasuk juga dalam interaksi di dunia pasar, ekonomi.
Dalam interaksi sosial versi ekonomi ini lahirlah korporasi besar hingga pedagang jalanan yang melahirkan strata sosial dalam ekonomi. Stara itu tumbuh berlapis-lapis dari korporasi besar sampai yang paling rendah, pedagang kecil.
Memang benar jika hakikat hidup adalah pertempuran. Bertempur untuk bertahan hidup dan untuk hidup di jaman ini butuh penghasilan,uang. Uang yang beredar di dunia bisa diibaratkan dengan piramida terbalik. 80% uang di dunia dikuasai oleh 0,05 orang saja. Dan sisanya 20% diperebutkan oleh semua kalangan termasuk pedagang kecil dan buruh ini. Jadi pantas saja jika ekonomi suatu negara bisa ambruk gara-gara tingkah seorang yang berasal dari kalangan 0,05% itu.
Hidup manusia abad ini layaknya kompetisi rimba. Jika kita cermati dari fakta kesenjangan ekonomi yang terjadi, kita dapat mengaca diri. Siapa kita? "Pemangsa" atau "Yang Dimangsa."
"Perbaikan pendidikan dasar untuk semua di negara-negara berkembang memerlukan dana sebesar $6 milyar setahun, jumlah yang sangat terbatas dibandingkan dengan $8 milyar yang dihabiskan untuk belanja kosmetik di AS saja. Instalasi air dan sanitasi di negara-negara berkembang memerlukan $9 milyar, sedangkan konsumsi es krim mencapai $11 milyar di Eropa. Pemeliharaan kesehatan dasar dan nutrisi memerlukan $13 milyar, sementara $17 milyar dihabiskan untuk membeli makanan hewan piaraan (kucing dan anjing) di Eropa dan Amerika Serikat." (Amin Rais. 2008: 21-22)
Kita dapat tarik kesimpulan siapa kita? Inilah Imperialisme Ekonomi.