Imperialisme Ekonomi



Inilah wajah-wajah rakyat jelata yang mengais rejeki di pasar-pasar tradisional, muka para buruh dan kuli yang mendapat upah harian. Sebuah usaha pencapaian kemakmuran. Itulah yang mereka inginkan. Kemakmuran? Benarkah mereka dapat mencapai kemakmuran? Atau hanya sekedar memenuhi hajat hidup hari ini? Pertanyaan macam itulah yang menari dibenak kita di tengah grobalisasi dan liberalisme yang memasukkan mereka ke kubangan kemiskinan. Ditengah ketakberdayaan sistem mereka mencoba untuk menterjemahkan hakikat hidup.

"Hakikat hidup sebenarnya terdiri dari 3, yaitu Life is a place of Worship (hidup adalah ibadah), Life is a place of Wealth (hidup adalah kemakmuran), dan Life is a place of Warfare (hidup adalah pertempuran)." (Riawan dalam Suryadilaga 2007: 4)

Layaknya kemerdekaan itu bisa kita raih dalam semua lini hidup kita tapi, apalah daya jika kita dibenturkan dengan teori sosiologi yang menyatakan bahwa, "manusia adalah makhluk sosial." bagi saya makna makhluk sosial bukan hanya dalam lingkup interaksi mengenai sikap yang berlandaskan nilai dan norma tetapi termasuk juga dalam interaksi di dunia pasar, ekonomi.

Dalam interaksi sosial versi ekonomi ini lahirlah korporasi besar hingga pedagang jalanan yang melahirkan strata sosial dalam ekonomi. Stara itu tumbuh berlapis-lapis dari korporasi besar sampai yang paling rendah, pedagang kecil.

Memang benar jika hakikat hidup adalah pertempuran. Bertempur untuk bertahan hidup dan untuk hidup di jaman ini butuh penghasilan,uang. Uang yang beredar di dunia bisa diibaratkan dengan piramida terbalik. 80% uang di dunia dikuasai oleh 0,05 orang saja. Dan sisanya 20% diperebutkan oleh semua kalangan termasuk pedagang kecil dan buruh ini. Jadi pantas saja jika ekonomi suatu negara bisa ambruk gara-gara tingkah seorang yang berasal dari kalangan 0,05% itu.

Hidup manusia abad ini layaknya kompetisi rimba. Jika kita cermati dari fakta kesenjangan ekonomi yang terjadi, kita dapat mengaca diri. Siapa kita? "Pemangsa" atau "Yang Dimangsa."

"Perbaikan pendidikan dasar untuk semua di negara-negara berkembang memerlukan dana sebesar $6 milyar setahun, jumlah yang sangat terbatas dibandingkan dengan $8 milyar yang dihabiskan untuk belanja kosmetik di AS saja. Instalasi air dan sanitasi di negara-negara berkembang memerlukan $9 milyar, sedangkan konsumsi es krim mencapai $11 milyar di Eropa. Pemeliharaan kesehatan dasar dan nutrisi memerlukan $13 milyar, sementara $17 milyar dihabiskan untuk membeli makanan hewan piaraan (kucing dan anjing) di Eropa dan Amerika Serikat." (Amin Rais. 2008: 21-22)

Kita dapat tarik kesimpulan siapa kita? Inilah Imperialisme Ekonomi.

Tergores


Tubuhku gemetar. Berguncang hebat. Laki2 berseragam itu datang lagi. Polisi penagih hutang itu datang membawa kertas bermaterai yg disodorkan kpd bpk dan bpk tanda tangani. Setelah mendapatkan tanda tangan bpk 2 polisi itu pergi.

Aku takut menatap mata ibuku. Aku tak berani bertanya pada ayahku. Rasanya energiku ditarik habis hingga tak bersisa. Aku hanya beku tak bersuara. Hanya butiran bening yang makin deras keluar membasahi pipi.

"pak, sampai kpn kt msh bs bertahan?" ibu bertanya pd bpk sambil meneteskan air mata "ibu sudah tidak kuat lagi pak!"

"entahlah bu. . .akan smp kpn kt mampu bertahan," bpk menjawab seadanya

"apa yg bs gadis lakukan bu?"

"kuliahmu. . .km berhenti dulu saja," ibu berkata.

Ibu. . .yang selalu mengeluarkan kata2 dukungan kini berbalik 180 derajat. Kata itu seolah petir di siang bolong. Rasanya badanku mau roboh mendengar kata2 ibu tadi.

"baik nya saja spt apa bu. . .gadis nurut"

cita-citaku harus kandas sampai disini? Sudah tinggal beberapa langkah lagi. Hanya tinggal skripsi saja. Tapi . . . Robby, cobanmu membelai keyakinan dan tekadku.

Aku masuk kamarku. Aku buka buku tabungan. Uang di dompet. Celengan kodokku. Tidak cukup!! Tidak cukup untuk biaya semester ini.

Air mataku meleleh lagi. Janji itu Cinta. . .
Janji itu Rindu. . .Aku kalah!!

LELAH!! Haruskah rehat? Atau sudahi saja semuanya. Membiarkan semuanya menguap tak bersisa atau hanya butuh menangis dan memuntahkan kelesuan?

Saat harapan serasa sempit hanya pengharapan padaMU yang dapat menjadi pelipurnya. Kota tujuan itu kapan aku jamah jika semua berhenti disini.

Oh saat seperti ini aku ingin berjumpa dengan profesor tp ia sudah tak ada. Ya, Umair mungkin bisa kutemui tp ia pun sibuk. Aku lunglai.

Setelah sholat isya yang penuh doa di sujud penghabisan,
Novel pemberian profesor itu aku baca lagi. Setidaknya aku masih punya mimpi. Masih percaya dengan harapan walau bkn spt mimpi yg dulu.

Pahatan mimpi

Aku berjalan diterik matahari yang membakar. Panas dan menyengat. Tapi jika tidak dipaksa kaki tak kan melangkah jua. Tidak ada kuntowijoyo di siang macam ini. Yang ada hanya keringat yang asin rasanya.

Tiga orang wanita lanjut usia itu bercakap-cakap. Aku kenal benar dg bu niti yang sering dititipi salam oleh mas anton, pereman paling sangar itu. Aku juga kenal wanita satunya lagi tapi tidak dengan yang sedang berdiri itu. Siapa dia? Siapa? Terlihat tanpa beban atau ia sudah merdeka atas ambisikah?

Lalu aku berjalan mendekati tiga wanita yang telah lanjut usia itu. Aku berdiri diantara mereka. Hanya bisa tersenyum saja. Oh. . .tertawa juga.

Wanita yang tak ku kenal itu membuatku terkesima. Dia bernyanyi sambil menari dihadapan aku dan dua wanita seusianya. Kau tahu? Ia nyanyikan kidung-kidung jawa. nyanyian itu membuat aku merona, "sekolah lah yang tinggi sampai jadi profesor. Bisa sukses dan mensukseskan orang lain. Berguna bagi agama" kalimat itu ia nyanyikan dengan bahasa cirebon. Sebuah dukungan datang dari mereka yang memiliki sedikit kemungkinan.

Wanita itu siapa? Apa dia diutus datang bernyanyi-nyanyi dan menari oleh Robb padaku yang sedang diamuk keputusaan? Aku tersenyum sekaligus ingin menangis. Ada sebuah keindahan saat aku ada di antara mereka. Di terik siang yang sunyi. Yang orang2 sibuk dg ambisi2 tp siang ini bagiku seolah pagi yang sejuk dan menenteramkan.

Ada di antara mereka membuatku terpaku. Tak ingin pergi padahal tas sudah penuh buku2.

"mau berangkat kapan gadis?" tanya bu niti.

Aku gagap menjawab, "oh, ya sekarang"

wanita itu terus saja bernyanyi. Nyanyiaanya seolah doa untukku. Seolah motivasi terbaik yang benar2 aku butuhkan. Matanya menatapku seolah benar2 tahu pertanyaan2 hatiku. Siapa engkau nek?? Benarkah aku harus menjadi orang yang kau deskripsikan di lirik lagu2 spontanmu itu?

Engkau budayawan luar biasa. Mungkin hanya di waktu ini dan kali ini saja bisa bertemu dg budayawan wanita tradisional sepertimu.

Aku pun berangkat dan meninggalkan mereka.

"Menakjubkan sekali hidupmu ini dis," kataku dalam hati saat pulang hari ini. Ada hal yang banyak ku pahami. Mencoba mengerti penderitaan. Betapa tidak? Setiap pulang sore atau malam adalah menakjubkan. Sungguh yang naik mobil mewah itu tak kan pernah menikmati keindahan cinta seorang ayah yang papa untuk anak dan istrinya. Ya!! Disaat hari tlah larut itu kuli2 pelabuhan yang khas bau keringatnya berhamburan memenuhi angkot. Duduk dengan muka payah tapi penuh kepuasaan. Membagi upah 15-30rb an. Maka dialog yang sering aku dengar dari mulut2 mereka adalah, "ini untuk belanja istri dan uang saku sekolah anak besok". Ah. . .keindahan di tengah angkutan kota yang menarik ongkos 'pengertian' pada mereka.

aku tersenyum melihat wajah2 mereka atau bercakap tentang banyak hal dengan mereka. Bukan! Percakapan kami bukan tentang kursi anggota dewan bukan juga iptek yang paling up to date tapi perbincangan hidup yang memberi kepuasan batin.

"kuliah kamu nak?" tanya kuli pelabuhan yang sering kujumpai karena selalu seangkot.

"ya"

"bagus. Yang rajin. Kamu orang punya ya, tidak tahu anak bpk bisa kuliah seperti kamu atau tidak," nadanya pesimis

"bisa pak. Aku pun anak petani biasa. Rumahku pernah didatangi polisi gara2 keluargaku bnyk hutang," jawabku lalu aku melanjutkan "saat awal kuliah aku merasa menjadi beban keluarga. Menangis disudut kamar saat polisi pulang. Tapi ibu berkata 'kamu nangis kenapa? Tdk usah nangis dis. Kuliah saja yang pinter'. Gak enak ya pak keadaan yg serba kurang?"

"kamu tidak lelah? Sampai kapan kamu bisa bertahan?"

"akan terus bertahan sampai aku jadi profesor seperti profesor terbaikku"

"luar biasa"

"mohon doanya pak! Anak petani pun bisa jadi profesor" kataku sambil tertawa dan diikuti oleh tawa seluruh buruh pelabuhan.

"terus kalau kuliah suka beli buku?"

"ya beli dong pak. Kalau tdk bs beli ya pinjam di perpustakaan. Lumayanlah kuliah sambik kerja. Hasilnya bisa untuk beli buku dan ongkos kegiatan atau organisasi kampus yang diikuti."

"bapak akan saksikan gadis jadi profesor. Anak petani bisa jadi profesor"

"amin. . ." ucap mereka kompak.

Sebuah doa tulus dan ikhlaslah yang akan mengantarkan gadis menjadi profesor.

Cinta. . .Rindu. . .kita akan berjumpa di senja seperti yang pernah kita janjikan. Dengan menggenggam impian yang telah kita raih.

Sambil memandang kemilau senja kita tersenyum dan tertawa penuh makna. Atau kita akan terus berlari sampai tak ada daya lagi?

Panah Cahaya

Dibawah temaram cahaya bulan kami bermain petak umpet dan bernyanyi. Tangan kami saling berpegangan dan berputar-putar sedangkan bintang bertaburan indah. Sangat mempesona. . .

Ada jutaan mimpi bahkan lebih dari itu. Ada satu hal yang aku genggam erat dalam hati hingga kini. Ia seolah petuah dari angin yang mendesir dan membelai harapan-harapanku.

Tidak ada Cinta. Tidak ada Rindu. Yang ada hanya mimpi. Mimpi. Dan mimpi. Ya!! Itu yang menyebabkan semua ini terjadi. Menjadikan mawar makin semerbak. Kepompong bermetamorfosa menjadi kupu-kupu. Dan mimpi menjadi harapan.

13 tahun silam. Tahun 1997 pertemuan dengannya terjadi saat air mata mengalir, saat harapan datang. Gerbang mimpi itu terbuka. Dulu hanya mampu menatap pintunya saja tapi tidak untuk kali ini. Telah terbuka. Kaki mulai melangkah. Walau dengan badan gemetar, dengan hati bergetar, dengan nafas tersengal tapi jiwa makin terbakar.

Tidak ada yang istimewa sama sekali darinya. Matanya bulat dan terlihat sangat kampungan. Jauh! Jauh dari tampilan orang terpelajar.

Sore itu saat aku mengaduk-aduk mencari bintang yang paling aku sukai, ia datang. Ya! Dia datang. Tanpa beban ia berkata, "lupa dimana kau simpan bintang-bintangmu itu? Aku membakarnya. Bintang2y aku bakar. Kau tidak perlu itu lagi."

mataku melotot. Marah. . .sangat marah, "apa yang kau lakukan dengan cahaya terang itu?" aku yang saat itu masih kanak-kanak menangis.

"ratusan kali kau menatapnya. Kenapa? Tidak percaya dengan kemampuanmu sendiri?"

aku masih kesal. tetap menangis dan tidak menggubris ucapan-ucapannya.

"kau hafal peta bintang2 itu. Masih tidak percaya diri? Keterlaluan!!"

reda. Reda tangisan itu. Ya! Hafal. Aku sudah hafal. Saat itu aku mulai suka dengan gerhana bulan atau apa saja yang berhubungan dengan angkasa raya. Tergila-gila sampai kunamai 7 kucing peliharaan dengan nama-nama planet, benda langit atau apa saja yang berbau angkasa. Masih ingat benar nama-nama itu, venus, pluto, helly, vega, black hole, bima sakti, dan milky way yang semuanya mati karena makan racun tikus tetangga. Tragis!!

Sadar sudah. Bintang telah aku hafal. Tidak perlu lagi mencarinya. Sudah ada. Sudah ada di sanubari. Kuusap-usap air mata dan tersenyum padanya dan berkata, "trimakasih. Kau menyadarkanku"

"yah, kau perlu disadarkan. Untukmu," ia memberikan dua buku padaku. Dua-duanya novel. Lusuh. Terlihat tidak menarik. Satu novel tentang tragisnya cinta pemuda bali dan sebuah novel istimewa. Sangat istimewa.

Profesor itu memberiku bintang yang lebih terang. Aku baca buku itu saat harapan serasa sempit dan mimpi bagai racun. Ah, kau masih tetap profesor terbaikku.

Tahun 2002 novel pemberian profesor itu hilang. Novel yang paling aku cintai hilang. Dihilangkan oleh kawan. Sangat tidak rela. Warisan yang tak bisa kurawat prof. . .

Tahun 2010. Sudah sepuluh tahun lalu ia hilang di dunia. . .ada di alam yang berbeda. Profesor pertama yang aku kenal. Yang kugemari nasihat dan petuah2y sudah tak bisa lagi kutemui untuk bercakap tentang kehidupan.

Adalah suatu keberuntungan jika bisa mendapatkan buku itu lagi. Sudah dicari di toko2 buku, perpustakaan, sudah minta bantuan teman yg tinggal di kota2 besar. Nihil. Tidak ada prof buku itu. . .

Hari ini aku pergi ke toko buku tapi sudah tidak mengharapkan akan mendapatkan novel itu lagi. Sengaja pergi untuk membaca majalah kwack cuma-cuma.

Ah, keberuntungan itu menghampiri. Ya,warnanya aku kenal benar. Buku itu!! Jidual 10ribuan. Diobral. Tergeletak di sudut kotak besar diantara buku2 lain yang berserakan. Kisah indah yang aku rindu membacaya setelah 7th hilang. Tidak best seller, tidak ditulis oleh pengarang ternama tapi ada cahaya disana. Cuma satu2y. Tak ada lagi. Cepat2 aku beli.

"prof. . .aku mendapatkannya lagi. Kali ini tak akan hilang lagi" ucapku dalam hati "tp prof. . .kenangan denganmu jauh lebih berarti"


jika aku jadi profesor maka karena aku terinspirasi olehmu. Jika aku jadi rendah hati itu karena nasehat2mu yang aku dengar saat kecil dulu. Jika aku kuat itu karena aku belajar dari air mata ketegaranmu.YA MUTA'AALI. . .semoga Engkau meninggikan derajat profesorku.

Rindu yang tertinggal di Papua

Es di puncak jaya wijaya mengepulkan uap dingin. Gunung tertinggi itu seolah meyakinkan pendaki gunung untuk tak macam-macam bertengger di puncaknya.

Setelah perjuangan mempertahankan pulau yang berbelit-belit dengan bangsa kolonialis tempat itu oleh Soekarno disebut dengan IRIAN yang artinya Ikut Republik Indonesia Anti Nederland. Seiring waktu berjalan namanya berganti menjadi Papua.

Ada Rindu yang tertinggal di pulau paling timur Indonesia. Jika preport datang dengan tekad menguras gunung emas maka Rinduku datang dengan kesucian dan ketulusan hati.

Aku sama sekali tidak tahu mengapa sampai ia terbang ke Papua sana. Rinduku sampai ke Papua.

Rindu. . .apakah kau tahan ada disana? Hanya ada satu operator telpon seluler. Kau tahu?iklan-iklan seluler jika dicermati tidak menyertakan pulau Papua sebagai bidikan pasar. Pembangunan disana tertinggal. Apa kau tahan?

"aku tahan Gadis. Dan harus tahan. Aku akan berusaha menjadi orang yang bermanfaat. Menolong orang yang terbuang dan sekarat"

"kau sadar HIV/AIDS itu berbahaya. Kau sendiri yang bilang perawat-perawat disana akhirnya banyak yang terinveksi virus jahanam itu" emosiku sudah tak terkendali.

"gadis!! Ini adalah keputusanku. Keputusanku Gadis! Hargailah. . .jika aku harus terinfeksi disana setidaknya aku telah melayani ratusan ODHA disana. Menyemangati mereka yang dilanda putus asa. Walau aku harus menggunakan sarung tangan berlapis-lapis jika mengobati mereka."

Rindu, itulah kau yang teguh dengan keputusan-keputusanmu. Ternyata impian-impian yang kita harapkan kala senja yang kita lewati bersama benar-benar terjadi.
GADIS. . .
RINDU. . .
CINTA. . .

"hahaha. . .dasar kau. Tetap seperti dulu. Rindu yang teguh seperti keteguhan rindu pada pasangan kekasih," aku menggodanya

"banyak yang tidak mendukung keputusanku dis. . .aku berharap kau tidak ikut menghujatku seperti mereka yang tak mengerti aku," suaranya bergetar

"aku mengerti. . .Rindu adalah rasa yang tak bisa hilang sebelum hajatnya terpenuhi"

"ah, gadis kau membuaku menangis" ia berkata sambil mengusap air mata.

"buat mereka mengalami hidup sampai mereka mati."

"tentu Gadis. ODHA itu harus terus mengalami hidup bukan hidup yang tak hidup. kondom sialan itu menipu mereka. Anak belasan tahun sudah divonis HIV"

"selamat berjuang pahlawan. Aku perlu memberimu hormat?" aku meledeknya.

"haha. . .aku bukan jendral"

"kapan berangkat?"

"Setelah satu tahu profesiku usai. Aku tak sabar ingin cepat-cepat kesana"

"wah sepertinya kamu juga berhak mendapat gelar pahlawan"

"hahaha. . .aku tidak mau memperebutkan gelar pahlawan duniawi itu" ia tertawa dan tiba-tiba mendratkan ciuman padaku.

"kau. . .curang!! Jangan lari. Aku balas. Mencium tanpa ijin" aku berkata sambil mengejar ia berlari.

Rindu ini terbayar. Aku nikmati lagi rasa seperti ini. Seperti dulu kala. Rindu kau telah membayar kerinduan ini.

air mata cinta

Senja ini burung gereja bercicit terus menerus walau dingin menusuk. Adzan mendengung menembus palung hati. Suara merdu itu menyelinap lembut pada qolbu yang kering sementara air mata masih jua meleleh.

Gemericik air mensucikan kami. Menghapus gamang dan penat yang tercipta dengan ruku dan sujud panjang penuh pengharapan. Engkau Maha Mendengar. . .

Aku melihat dia duduk. Berhadapan dengannya. Mendengarkan kisahnya. Juni. . . Juni. . .oh Juni. Aku tahu betapa beratnya beban hidupmu cinta. Aku tahu!! Aku sangat bangga padamu.

"Gadis, sebenarnya aku tidak ingin pergi tapi mimpiku itu menarikku. Aku bagai besi yang tertarik oleh magnet"

"aku mengerti cinta. Kita akan menikmati senja seperti dulu dg Rindu"

"Gadis, sore ini aku akan pergi ke pemakaman. Ikutlah denganku. Aku rindu sekali pada nenek"

hanya ada anggukan. Berjalan. Ia berjalan sementara aku mengikutinya dari belakang. Perjalanan tanpa kata. Tanpa canda. Mulut terkunci padahal ada jutaan kata yang harusnya terlontar. Entahlah. . .siapa yang mencuri keberanian dan kalimat-kalimat itu.

Langkah kami yg diberisikkan oleh angin telah sampai pada pangkalnya, kuburan. Bau bunga kamboja putih yang menusuk. Nisan-nisan tak terurus yg ditumbuhi ilalang. Aku tak bisa terus diam.

"dimana kuburan neneknya?" suaraku sepertinya mengganggu suasana kuburan yang sepi.

"sebentar lagi"

ia berhenti di kuburan yang sudah berlumut. Duduk. Hening. Dia meneteskan air mata. Aku tidak mendengar ia berkata-kata sama sekali tapi aku dapat memahami air matamu cinta. Aku ingat dulu saat kau berlari untuk sebuah harapan yang membuatku tersengal-sengal mengikutimu.

"duduk gadis," tiba-tiba mulutnya memecah kesunyian "kau tahu gadis rasanya kehilangan? Kau tahu bagaimana rasanya ada di negeri orang tanpa ada yang menciumku saat aku rindu? Tidak bisa berbagi di hari kemenangan?" ia terisak dihadapanku dan makam neneknya.

Aku hanya diam. Tak bisa menjawab pertanyaan2 itu. Suara ilalang-ilalang yang ditiup angin seolah menjawabnya.

"kau tidak mengerti bukan gadis?" nadanya makin tinggi dan air mata makin tak terbendung. Sementara aku? Kupaksa-paksa menahan air mata agar tak menetes.

Rindu. . .rindu kemana kau rindu? Aku tak bisa sehalus dan sebijakmu. Mungkin kau yang mampu menenangkan gejolak Cinta. Ah rindu . . .kau tak ada disini bersama kami.

"sudahlah. . .kau tak perlu turut sedih. Itulah beban yang harus cepat-cepat aku muntahkan. Maaf ya Gadis. . ."

"ya, kau tahu? Aku akan ada jika kau perlu aku," aku meyakinkan dan ia hanya tersenyum saja.

"kita pulang. Aku antar kau pulang Gadis"

warna emas matahari senja tiba-tiba menghias langit barat. Seolah memberikan kesempatan pada kami untuk menikmati detik-detik penghabisan. Tiga tahun. . .tak kan kupandang wajahmu cinta.

Ia peluk aku. Pelukan terakhir sebelum pergi. Erat. Penuh dukungan tapi tak luput dari tangisan. "doakan aku gadis. Besok aku kejakarta untuk memantapkan bahasa thailand selama 3 bulan. Visa dan pasport sudah tak ada masalah. Jaga dirimu baik-baik"

"ya. Kau juga jaga diri disana. Jika ada waktu senggang kirim e-mail atau telfon"

matahari yang makin redup memberi tanda bahwa saatnya berpisah dengan senja makin jelas. Mengganti hari dengan taburan bintang dan sendunya sinar bulan.

"oh ya, kita akan melihat matahari jatuh kedalam air saat aku pulang nanti" ia berkata sambil tersenyum.

"ah, aku tak mau dengar janjimu. Sudahlah pulang sana. Istirahat agar esok kau bugar" aku berkata sambil tersenyum.

gerhana ke-77


Mimpi itu menyergap memutuskan urat keputusasaan. Ia terbang menari di tengah lebatnya hujan. Menghempaskan kerinduan, melunturkan kehilangan.

Kesendirian di tengah malam yang dibalut langit hitam telah merontokkan kepiluan. Aku telah tanggalkan kesedihan pada tong sampah di belakang rumah. Tidak!! Tidak ada lagi air mata untuk itu. Cukup sudah debit air yang ku keluarkan. Lelah?? BUKAN!!
Hanya tidak mau terlalu banyak berharap.

Aku baru menemuimu dua kali saat kau ada di tanah air. Itu belum cukup untuk menghilangkan rindu padamu. Pertemuan kedua ini kau utarakan "kejujuran" yang membuat aku menangis menggigil di heningnya malam.

"buku apa ini? Bahasa thailand?" aku bingung

"ya gadis. Aku akan ke thailand juni ini"

aku menangis, "Kau mau meninggalkan aku lagi? Baru saja kau singgah dua bulan di Indonesia. Apakah kau tidak mau menikmati senja bersamaku?"

"mau bagaimana lagi. Aku masih harus menuntaskan mimpi gadis," ia berkata sambil menahan air mata.

"kau tidak mau datang saat Aku diwisuda?"

ia diam sesaat. Menunduk. "gadis. . .aku akan menelfon di hari wisudamu nanti. Hanya itu."

"lalu janji itu? Bagaimana? Melihat gerhana bulang yang ke-77 bersama?"

"lupakan! Itu cerita masa lalu. Itu mimpi naif kita"

tega!!! Ingkar dengan janjimu. Hanya mampu meradang dalam hati.

Lari. . .berlari di lebatnya hujan. Biarkan hati setenang hamparan samudra. Burung camar tak kan berhenti bernyanyi. Sudahlah. . .air mata sudah ditiup angin timur. Getirnya awan hitam ini. Kau tahu? Terluka. Tersayat. Sudahlah. . .lupakan. . .

Tak ada lagi tangisan di hadapanmu. Tak ada lagi. Lelah selalu kau tinggalkan. Imunitas terhadap pilu telah tertanam kuat. Ya, sudah ada d tong sampah sana kesedihan itu.

Dari mesir hanya datang untuk pergi lagi ke thailand?

Teruskan!! Bingung. . .antara dukungan dan kehilanganmu cinta. Itu saja. Atau harusnya lebih peka membaca matamu itu? Apa kata bola mata itu? AKAN ADA SENJA BERSAMA LAGI.

Puas sudah. Lakukan apapun sesukamu.


>untuk cinta yang akan pergi ke THAILAND. Selamat jalan<

bisikan malam

Kesunyian malam terbelah oleh gemuruh hati yang bising. Nyanyian riang pemuda malam seolah jadi lagu pilu yang menyayat sementara kodok bernyanyi riang tanpa beban.

Ada yang hinggap. Entah itu apa. Membuat bantal basah dan nafas amat berat. Senyum mendadak tersisihkan. Terganti oleh "arti" yang masih belum bisa kuartikan. Ada apa? Mengapa? Aku masih tak mengerti.

Aku tidak mau menggigil karena dilucuti kejujuran. Biarkan saja. Ya! Biarkan saja menguap. Lalu. . .aku akan menanti uap merubah dirinya menjadi hujan. Hujan. . .yg memberi ketenangan. Menyelimuti diri dengan kedamaian. Tak harus dipaksakan untuk cepat-cepat dimengerti. Aku akan mengerti. Entah kapan dapat kupahami.

Kuambil kertas. Kucoret-coret kertas. Kulukis gambar lingkaran disana. Kau tahu? Simetri lipatnya tak terhingga tapi hanya memiliki satu pusat saja. Lingkaran seperti angka nol bukan? Nol bukan berarti kosong. Ia ada kasih. . .
Lingkaran seperti huruf O bukan? Huruf yang menandakan pengertian dan rasa paham paling dalam hingga bibir dapat mengucapkan "ooo..."

tidak akan ada yang tahu kecuali malam dan Robbku tentang tragedi hatiku. Cinta, rindu, sunyi, benci, bosan, mengkhianati atau dikhianati, menuduh atau dituduh.

Ah. . .mata tak kunjung lelah. Masih juga terjaga. Padahal pintu tlah terkunci dan lampu tlah mati. Kenapa? Atau karena hatiku masih belum mati?

Selimut biru sudah kuyup dan mata masih lekat pada kotak disudut kamar. Kertas-kertas di kotak itu. . .aku lupa apa isinya. Lebih baik lupa. Baiknya tidur saja.

Rasanya menyita bnyk waktu sekali. Dalam mimpipun aku dikejarnya. Terjaga lagi. Sudah payah. Dan betapa bingungnya membedakan mimpi dan fakta hari ini.

Terjepit kesendirian yang sunyi. Malam benar-benar mendakwaiku. Aku jd terdakwa? Film masalalu diputar. Tersudut. Tidak bisa lagi mengelak. Itulah keadaan diriku. Terlihat jelas. Tawaku dan air mataku sayang

Antara Umair dan Baju Putih


Burung kuel menjerit parau di atas dahan tak berdaun. Nadanya kacau menyentak gendang telinga. Berdengung tersusun dan dirangsang cepat oleh dendrit2 saraf. Buyar!! Membuyarkan sunyi yang makin sepi. Menggiring sunyi ke bunyi. Bunyi yg makin mendesak ruang hati.

Rasanya hari ini aku bahagia. Memejamkan mata. Tdk untuk berfikir. Hanya untuk merasakan sentuhan lembut angin musim dan Menari tanpa gerak.

"apa yg sedang kau lakukan?" suara itu memecah kesunyian. Suara ini. . .datang disaat berjuta tanya mengendap.

"kecewa,"aku bilang.

"apa yg kau kecewakan?" ia bertanya

"aku muak! Muak dg aturan. Sial!! Mereka menghukum dan Menghujat jk km melakukan cela. Sementara aku menyaksikan tawa hina mereka," aku muntahkan kekesalan sambil menendang kaleng berkarat.

"jiwamu sangat merana rupanya gadis. Cepatlah cari pelipurnya,"sarannya

"aku ingin bertemu dg nya"

"siapa?baju putihmu itu? Atau umair yg selalu kau rindukan pertemuan dg nya?"

"aku ingin melihat keduanya bersamaan"

kuntowijoyo mengernyit bingung, "mana bisa gadis?"

"bisa! Bpk th knp?"

"ada apa sbenarnya gadis? Bpk ingin th crt mu"

"ini bukan cerita tp jeritan sumbang"

"mau lolipop gadis?" kuntowijoyo memecah ketegangan.

"ha. . .ha. . .ha.tidak! Aku mau telinga,"

"telinga?untuk apa?"

"mendengar!"

dg cpt kuntowijoyo memahami jwbn singkatku itu, "hmm. . .aku berikan untukmu gadis kecilku"

mukaku merah merona mendengar jawaban itu. Ah. . .malam yg makin kelam. Jalan yg makin lengang dan jiwa yg makin kerontang.

Aku mulai bicara Saat Kuntowijoyo tlah memasang telinga, "disaat spt ini. . .aku bth teman untuk bicara. Untuk menumpahkan kejujuran. Siapa lg kalau bukan umair yg bs kuajak bercakap penuh makna. Siapa lg kalau bkn bj putih yg pernah mengajakku makan malam penuh romantis. Aku tdk bs sejujur itu jk bkn dg nya."

"oh. . .lalu jk tanpanya?"

"dia akan ada untukku. Dia menungguku ditempat itu. Aku akan mendengar ia bernyanyi"

"dia bisa bernyanyi?"kuntowijoyo kaget.

"ya"

"apa yg dia dendangkan untukmu?"

jujur saja aku malu bukan kepalang jika harus menjawab pertanyaan itu. Aku hanya diam tp kuntowijoyo berkata lg, "telingaku akan sia2 gadis jk crt mu spt kucing kasmaran. Setengah2!"

"aku terlanjur cinta kepadamu. . ." pipiku merah padam. "itulah nyanyiannya"

"ha. . .ha. . .ha. . .dasar anak muda!!" kuntowijoyo mentertawakanku

aku hanya tersenyum getir krn bj putih yg jarang kutemui. Bagiku ia spt oase d gurun pasir. Membuatku berbicara sejujurnya ttg macam2. Aku bnr2 tak bs bersembunyi di tengah kedustaan pd nya. Knp? Entahlah. aku pun tak th.

Kadang kuhapus saja rindu dg membaca kertas2 karyanya yg hny ia tuliskan untukku. Aku merasa jd diriku sebenar2nya jk ada didekatnya. Ah . . .malam itu. Malam Penuh pesona. Walau tanpa senja.

"bpk th? Dia sdg sibuk."

"sibuk apa?"

"mencari kebenaran dan mendapatkan mimpi"

"oh,ambisi pemuda!"

"bukan ambisi pemuda pak tp mimpiku dg nya. Aku akan menemuinya di tempat itu"

"blh th dimana?"kuntowijoyo penasaran "siapa th bpk jg mau kesana"

"rahasia. Bpk pun tdk blh th. Ini adalah janji antara aku dan dia"

"apa yg membuatmu tertarik dg nya?"

"bnyk. Bahkan tulisan2ku pun bnyk yg terinspirasi oleh nya"

burung kuel bergerak. Sayapnya mengepak. Ranting ditinggal pergi. Terbang. . .menuju awan yg berarak. Pergi dan baru akan kembali dg mimpi yg telah ia tuntaskan.

Aku. . .aku msh berharap umair tak menghapus ttg ku dr ingatannya. Aku berharap dia tetap menungguku ditempat itu. Hanya itu. Dan hanya itu.

"pak aku harus pulang. Sampai jumpa lagi,"aku pergi meninggalkan kuntowijoyo yg telah menarik kesimpulan atas hdp nya.

ENDAPAN CINTA


Siang itu mentari tak menyengat. Langit diliputi awan gelap saja. sungguh tak ada pendar biru yang menandakan kehangatan. Gelap!! Langit bukan saja murung tapi ia menangis sejadi-jadinya. Kau tahu? Masa macam itu membuat niat mengkerut atau kerontang saja dalam kedipan mata. Cobalah simak baik-baik saat macam itu.

Tapi kenapa burung kecil masih juga bernyanyi? Atau kita tak begitu pandai memahami? Iya!! Kita tak juga bisa mengerti. Apa lagi memahami. Akui saja jika hatimu menjerit penuh nanar. Tak usah dipendam dalam-dalam. Kau tahu? Karena bola matamu yang hitam bercerita sedetail-detailnya tentang keadaan jiwamu yang tak karuan. Tidak!! Tidak ada yang menyuruhmu berpeluh pilu. Ingat saja kata-kata sastrawan itu,
“seperti burung-burung yang mencicit atau bernyanyi, sama saja baginya apakah itu suatu duka atau suka. Setiap suara burung adalah nyanyian.”
(kuntowijoyo, 1970: 77)
Ah….sudahlah. hiduplah layaknya orang hidup. Kembangkan payung cintamu lalu langkahkan kaki karena hakikatnya hidup adalah gerak. Jangan berfikir!! Sekali-kali jangan. Jika kau ajak dirimu berfikir maka kau akan merasakan rasanya terpenjara oleh pikiran-pikiranmu.

Kau mau tahu siapa kamu? Ha…ha…ha… janganlah berkelakuan seperti badut. Jalankan peranmu. Itu saja. kau hanyalah bagian dari alam raya ciptaanNya. Sudah!! Tidak ada yang menyuruhmu berpikir kawan!! Jelek sekali mukamu jika kau paksa juga. Masih juga kau tak percaya?? Oh kawan… jagad raya itu luas dan kau masih juga bertanya siapa dirimu? Sekali lagi kembangkan payung cintamu.

Saat langit menangis pilu kau harus tetap gembira. Tak usah turut lara karena tangisan langit adalah bahagia pula. Rayakanlah seperti amfibi yang merayakan tetesan air mata dengan nyanyian suka cita. Itulah kemerdekaan!!! Merdeka dari jajahan kolonialis Jepang dan Belanda. Merdeka dari derita. Hidup yang merdeka. Rayakan maka kau akan raih ketenangan seperti burung melayang di langit bulan Juni yang dihiasi awan putih yang tipis.

Kau melangkahkan kakimu yang kurus dibawah payung cintamu. Bibirmu itu indah rupanya. Merah warnanya. Tesenyum pula…. Malaikat jadi terpikat olehnya. Bertasbih malaikat tiada henti-hentinya. Memuji….
Memuji siapa?
Bukan memujimu tapi memuji Dia.
Janganlah kau teriakkan duka diatas bumi. Dibawah kakimu itu ada harta karun yang tak perlu kau tangisi tapi, cukup genggam saja ditanganmu. Jangan selipkan dihatimu.
Payung cintanya terbang…..

Payung cintanya terbang disapu badai. Kemana hendak ditemukan lagi? Mata tak dapat melihat. Tertutup oleh kabut gelap. Dipaksa juga mencari kuat-kuat. PARAH!! Tak ditemukan hingga detik yang belum ada penghabisan.
Kau bilang, “tanya satpam!”
Satmam menjawab, “tak ku genggam”
Kau bilang, “tanya tukang sapu”
Tukang sapu menjawab, “mana kutahu”
Lalu… kemana lagi harus mencari payung cinta yang hilang itu? Jika saja 1000 payung mahal terjejer di hadapan mata yang telah sayu maka masih juga memilih payung cinta itu.

Payung cinta darimu yang kau berikan dengan rasa cintamu itu entah ditangan siapa. Diperlakukan sepeti apa dia? Ada sebuah harapan datang dari angin utara.
Di tangan siapapun ia semoga payung cinta yang telah lenyap dari genggaman dapat menaungi pemakainya.
Kenapa?
Ku bilang, “disana ada sejarah cinta penuh pesona. Dirajut dengan canda dan amarah. Amarah cinta kawan. Dibalut dengan tawa dan air mata. Air mata cinta.

Kenapa juga harus pilu? Masih ada pundakmu yang bisa kugunakan untuk bersandar. Masih ada pelukan darimu. Masih ada marah cintamu. Jika hujan datang lagi maka, cintamu yang langsung menaungiku. Disaat kau naungi aku dengan cintamu maka akan kubalas dengan tatapan lekat. Memelukmu erat dibawah gerimis yang memikat di tengah taman mawar yang segera kita tinggalkan. Dan akan kubisikkan,
“AKU BANGGA MENCINTAI DAN DICINTAIMU”
Apa reaksimu?
Kau hanya tersenyum saja. tak berkata apa-apa.
Kunikmati senyummu. Kuartikan senyum itu seperti,

Kamus Empat Kata Berhuruf Awal G, 1

GALAS: bukan jauh jarak yang menakutkan, bukan? Tapi
Seberat apa kau buat beban, di pundak, dan tak ada
Yang hendak diletak, tak ada yang boleh kau serak.
Perjalanan sendiri telah kau mulai sejak kaki bergerak,
Sejak nafas disentak. Sejak kau ukur seberapa tinggikah puncak.
Jadi bukan jauh jarak yang menakutkan, bukan?

GALIAS: kau belum sampai, ini seperti mulai yang lagi mulai,
Ada perahu bertiang tiga, ada samudra seluas tujuh wasangka,
Kau belum sampai, pelabuhan ramai memang membuai,
Rumah dikenang rumah dijelang, diantar badai ke badai,

GANCANG: ada yang mesti lekas kau buat tuntas, sebelum
Tanganmu tak lagi tangkas, sebelum langkah tinggal kulai,
Sebelum nafas sisa sengal, ada yang harus segera kau
Bikin selesai, sebelum waktu habis mengukur umur.

GALIR: lalu tingal sisa hari yang cair, kau duduk mengenang
Semua kenang, bentang petang amat lapang, semerbak gelak,
Kau lihat sepasang sepatu tua di rak, jaket koyak. Topi lecak,
“lihat…” kau tunjukkan tongkat kayu ke kaki langit.
(hasan Aspahani. 2009: 23)
Ah kau, tertawa terpingkal oleh puisi yang ku baca. Kau bilang, “apa peduliku dengan puisi yang kau bacakan? Aku hanya peduli denganmu.”
“ha…ha….ha…” aku pun tertawa



****untuk seseorang yang sangat berkesan dipertemuan pertama. Pertemuan yang tak akan pernah disesali. Trimakasih payung cintanya.****
Powered By Blogger