bukan bintang yang paling terang bag. 2

Ia tatap sinar mentari yang memasuki jendela hatinya. Burung gereja menemani pancaran sinar mentari dengan nyanyian paling merdu di hari ini. Pagi ini jiwanya terasa tenang sesejuk udara pagi dan sebening embun penghias taman hati. Ia hadapkan tubuhnya pada mentari yang bersinar sambil memejamkan mata dan menghirup udara dalam-dalam. Pagi yang amat indah untuk dilewatkan.

Ia akan berlari kencang menyusul tangan lembut yang dulu pernah ia tinggalkan. Akan ia genggam lagi tangannya. Berbunga-bunga sudah hatinya karena ia akan merajut mimpi yang sempat tertunda karena terkalahkan oleh rasa rindu yang tak mampu ia redam.

"padang impianku aku, melihat padang itu makin indah," ia berkata dalam hati sambil tetap menikmati sejuknya pagi.

Di tempat penantian tangan lembut terus bertahan menunggu. Air matanya berderai-derai. "aku kuat! Aku bisa bertahan! Aku kuat!! Aku akan setia menunggumu kawan!!" ia berkata pada dirinya sendiri. Air matanya semakin kencang bercucuran, "ada apa ini? Aku bilang aku kuat!" ucapnya memberontak pada raganya yang diremas malaikat maut.
Badai salju yang teramat dingin menerpanya berhari-hari. Tubuhnya kurus dan ringkih. Ada warna merah menetes di atas salju yang putih. Darah menetes dari hidungnya. Terus bercucuran. Ia makin kencang menangis. Tubuhnya berguncang. Ia terjatuh. Lunglai di atas tumpukan salju. Matanya merah. Pikirnya jauh melayang teringat janji pada kawannya, "oh. . .kawan, sedang apa kau sekarang? Kenapa kau biarkan aku begitu lama menantimu. Aku setia menantimu disini tapi Allah, Tuhanku agaknya merindukanku pula. Dia menginginkan aku segera pulang padaNya. Maafkan aku karena aku tak kan mampu lagi menemanimu mengarungi padang impian yang ku janjikan," ucapnya merana.

"Robby. . .sepertinya bukan lagi warna putih salju yang aku pandang tapi gelap yang sangat pekat. Tubuhku pun terasa ditusuk ribuan pedang. Aku pulang. . ." tangan lembuh pasrah

Badai makin kencang seolah-olah ikut berkabung atas kepulangan tangan lembut. Alam pun sunyi. Tubuh tangan lembut tergeletak di atas salju nan putih. Darah yang keluar dari hidungnya membeku oleh salju yang telah tenjadi es.

Sang kawan yang dinanti tangan lembut sedang berdendang sambil berlari untuk merajut mimpinya lagi. Langkahnya tidak secepat kecepatan cahaya. Ia hanya mampu berlari layaknya manusia biasa yang mencoba menjadi manusia yang luar biasa. Langkahnya makin dekat pada tempat yang mempertemukannya dengan tangan lembut. Ia lewati pula tempat pertemuan itu. Ia tersenyum. "kawan aku kembali menemuimu. Kita tapaki lagi padang impian," ujarnya bahagia. Ia makin kencang berlari. Makin rindu ia pada sang kawan yang pernah ia bagi tentang kisah-kisah riang dan pilu.

Badai salju. Ia menatap badai salju pada retina matanya. Dingin menusuk tulang tapi, ia tak jua surut. Melangkah. Terus melangkah menerjang badai yang terkalahkan oleh azzam yang menancap kuat.

Tiba-tiba ia berhenti. Badannya gemetar. Ia berharap matanya telah rusak sehingga tidak bisa melihat keadaan dengan benar. Ah, itu nyata. Matanya baik-baik saja. Ia berlari mendekati warna merah yang sudah beku. Ia terpukul bukan main. Ia berteriak kencang, "aaaaa. . . ." sambil menumpuhkan dirinya pada kedua lututnya. Air matanya tak terbendung lagi. Terus berderai sambil mengangkat kepala tangan lembut ke pangkuannya. Kerinduannya pada tangan lembut tercabik-cabik oleh keadaan kawannya yang telah kaku.

Keriangan pagi tadi menguap sudah. "kawan. . .apa Sang Kuasa begitu merindukanmu hingga aku temui kau seperti ini?" ucapnya terisak, "siapa yang menemaniku merenda jalan hingga ku genggam mimpiku? Dulu kau pernah berbisik padaku bahwa di suatu pagi salah satu dari kita mati maka sampai jumpa di kehidupan yang lain. Dan kata-katamu nyata kini. Kau menunggu aku dimana? Firdaus atau Darussalam?" ia makin terisak.

"baiklah. . .aku ikhlas. Dulu kau pernah meyakinkan aku bahwa kau akan selalu ada namun tak selalu. Akhirnya aku mampu memaknai ucapanmu dengan sangat sempurna dihadapan ragamu yang tak bernyawa sekarang!" ia berkata dengan tenang. Ia sudah menguasai dirinya lagi.

Ia akan lanjutkan lagi perjalanannya mengarungi padang impian. Tak ada lagi kawan tapi, dalam bait-bait hidupnya pernah tertulis tentang kesetiaan tangan lembut.

KEPEDIHAN APA LAGI YANG AKAN IA HADAPI DALAM MENGARUNGI PADANG IMPIANNYA?. . .

0 komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger