
Hidup menjadi perantau di Eropa adalah siap menjadi minoritas. Aksi-aksi rasis dan diskriminatif adalah hal biasa yang harus siap kami terima. Mulai dari dicurigai jika datang untuk membeli sesuatu di toko, tidak diturunkan di halte berikutnya waktu memencet bel, dan banyak lagi. Pernah ada seorang ibu-ibu berkata pada temannya, “pas op met jauw portemone!” aku tahu kata-kata itu ditujukan padaku. “aku bukan copet!” Keluhku dalam hati. Mereka pikir aku tidak mengerti dengan kata-kata itu. setidaknya aku cukup mahir berbahasa belanda. Ibuku yang keturunan Belanda mengajariku bahasa belanda dengan cukup baik. Aku bukan termasuk tipe orang yang pasrah jika di perlakukan seperti ini. aku langsung mengatakan, “wat is era aan de hand, mewrouw? Ben je bang?” Walaupun aku mengatakan itu mereka tetap menjaga jarak denganku seolah aku adalah kriminal. Tapi setelah aku mengatakan bahwa ibuku asli Holland sikap mereka langsung berubah manis. Mereka bertanya ibuku tinggal dimana. aku menerangkan bahwa ibuku tinggal di jawa, Indonesia dan menikah dengan petani Indonesia. Sementara aku sedang belajar di Utrecht. Inilah adegan yang paling aku sukai. Saat nyonya-nyonya belanda itu kebakaran jenggot mengetahui fakta yang ada. Mereka malu sekali pada orang-orang Indonesia. Selain karena sejarah masa lalu juga karena banyak diantara mereka yang menikah dengan orang Indonesia. Tapi peristiwa ini akan segera lalu karena besok adalah hari kamis.
Kamis adalah hari yang paling membahagiakan bagi aku dan Umair karena kami berdua sama-sama tidak ada jadwal kuliah. Setidaknya selain shaum sunnah kami bisa asyik membaca buku-buku pergerakan yang kami beli dalam versi elektronik book. Saat kami sibuk dengan bacaan kami masing-masing, tiba-tiba bel berbunyi. Agaknya ada tamu yang datang. “teeet…..teeet….teeet….” suara bel dipencet oleh seseorang di balik pintu. Aku dan Umair saling berpandangan. Agaknya kami berdua sama-sama heran siapa yang bertamu siang-siang begini. Saat aku hendak berdiri membuka pintu tiba-tiba tamu itu sudah masuk dan mengatakan, “moshi moshi mei,” pada kami berdua. Aku sudah tidak heran lagi dengan tamu satu ini. Siapa lagi kalau bukan makoto dari negeri penjajah, Jepang? Makoto adalah teman Umair. Mereka berdua sama-sama belajar linguistic di Utrecht. Bukan main kalau mereka berdua sudah bertemu aku bisa jadi kambing conge jika mereka berdua sudah ngobrol.
Aku mengerti benar maksud kedatangan Makoto. Tanpa basa-basi aku langsung menawarkan minum pada Makoto, “drink? Tea or coffe?” tawarku padanya.
Makoto langsung menjawab, “ up to you”
“ok,” dan aku pun pergi ke dapur membuat teh untuk Makoto. Beberapa menit kemudian aku menyuguhkan teh dan cemilan untuk Makoto. Makoto mengucapkan, “Arigato gozaimatsu” padaku. aku hanya menjawab dengan senyuman. aku pun meninggalkan mereka yang tampak asyik membicarak urusan kuliahnya masing-masing. Jika aku tetap memaksakan diri ada diantara mereka berdua maka bisa dipastikan aku jadi kambing conge.
Akhirnya aku masuk kamar dan siap-siap pergi ke kegiatan alloctone vrouw (perempuan asing). Setelah siap aku keluar lalu menemui Umair dan Makoto. “aku ada kegiatan alloctone vrouw hari ini. Oh ya tahu strippenkaart-ku ada dimana?” aku bertanya pada Umair.
umair menunjuk meja dekat jendela. Aku segera mengambil strippenkaart yang ada di atas meja lalu berkata, “tot zo…,” pada Makoto. Makoto teersenyum sampai mata sipitnya tertutup oleh kelopak mata.
Sementara Umair mengatakan,” pas op,” padaku.
sebenarnya aku ingin sekali menghabiskan waktu bersama Umair akhir-akhir ini karena enam bulan lagi aku akan kembali ke Indonesia. Sendirian. Tanpa Umair. Ya, karena Umair menempuh jenjang pendidikan yang berbeda denganku. Aku masih menyelesaikan S2 sementara Umair sedang menempuh S3. Aku pikir dia akan menjadi ahli linguistic yang hebat. Kalian tahu kisah sebelum kita bisa betemu di Belanda dan tinggal di Mainsonette? Bagaimana ya? Ya, bisa dibilang seperti kejar-jejaran dan saling mencari.

0 komentar:
Posting Komentar