Agar terus bisa berjalan agaknya roda harus berputar. Berputar dengan pergantian yang di atas jadi di bawah atau sebaliknya. Mereka namakan itu rekomposisi. Tak masalahlah asal maslahat. Sudah saatnya kita keluar dari kungkungan imajiner menuju hal yg lebih realistik. Dan lagi-lagi perjalanan malam sendiri harus dilakukan.
Hidup di daerah pantai itu keras kawan. Kultur masyarakatnya jauh berbeda dengan mereka yang tinggal di pegunungan. Kasar dan tak jarang main tangan. Karena tinggal di daerah macam inilah bapak menyuruhku ikut latihan bela diri. Aku selalu ingat saat aku telah ada di level tertentu di salah satu perguruan bela diri. Ya, dengan semangat menggebu kuceritakan kemajuanku latihan tiap pekan. Setelah magrib itu. . . Dengan bangga ku tarik tangan Ayah dan Ibu untuk menyaksikan aku dapat mematahkan 4 batu bata dengan tangan kosong. Ah, aku jadi bintang di hadapan Ayah dan Ibu. Cukup memuaskan!!
Pukul 06.45 mentari sudah lenyap. Jujur saja aku suka suasana malam. Tepatnya perjalanan malam. Kenapa? Karena disaat macam itulah inspirasi bertaburan dan jiwa menjadi sangat peka tentang makna kehidupan. Tentu saja malam ini aku tak ingin melewatkannya begitu saja. Aku berhenti. Menyebrang jalan dan menyusuri jalan yang cukup meriah dengan anak jalanan. Tak cukup aneh karena aku sering melewatinya. Aku masuk di rumah makan yang menghidangkan es campur yang sedap. Tapi, jika berkunjung disini malam hari tidak cocok memesan es campur. Ku pesan makanan berat dan teh botol. Dan lagi-lagi aku bertemu dengan lelaki senja itu.
"hai neng kita ketemu lagi. Es campur juga?" Lelaki senja penggemar es campur itu bertanya.
"tidak"
entahlah sejak kapan kita akrab. Semua berlalu begitu saja. Lelaki senja yang kaya pengalaman hidup. Di sela-sela makan ia bercerita tentang bisnisnya, keluarganya, dan kehidupannya.
"kok sendiri terus kalau datang ke sini? Tidak punya pacar?" seperti suara seorang kakek menggoda cucunya.
"tidak. Hobiku memang pergi sendirian"
"lihat perempuan di meja seberang. Bisa tebak berapa umurnya? Tua mana sama kamu?" lelaki senja itu menantang.
Aku tidak suka mengatakan ini sebenarnya, "tua aku pak" aku jawab.
"tua dia ah. Ya . . .beda 5th dari kamu"
"tua aku pak! Paling beda 1 atau dua tahun dariku" aku menjawab yakin. Untuk masalah mengetahui karakter orang secara garis besar cukup mudah bagiku tanpa mengenal terlalu dalam. Apalagi hanya menebak umur.
Rupanya perempuan di seberang meja mengetahui kami sedang membicarakannya. Ia makan bersama ibunya. Dengan percaya diri aku bertanya, "itu anak ibu?" pada wanita yang lebih tua dari wanita yang kita bicarakan.
"ya"
"usianya berapa tahun bu?"
"20 th tp dia sudah menikah"
aku tersenyum penuh kemenangan, "benar kan pak? Bedanya 1 atau 2 tahunan dan aku lebih tua"
"wah kamu hebat menebak umur ya" lelaki senja itu akhirnya mengakui kekalahannya.
Biasanya aku yang selalu pulang duluan tapi kali ini lelaki senja itu pamit lebih awal. Nampaknya di usia setengah abad lebih itu ia sedang menikmati masa tuanya. Ia dari kalangan etnis cina.
"berapa mas? Sekalian. Semuanya," ia menunjuk semua pesananku. Aku bengong. "sudah bapak bayar" lanjutnya sambil tersenyum dan pergi dengan mobilnya.
"wah sering-sering datang berbarengan sajalah kalau bapak traktir terus" ucapku sambil tertawa.
Aku masih menyelesaikan makanku. Ah, suara pengamen jalanan membuat suasana malam makin indah. Selesai. Aku panggil pelayan "berapa semuanya mas?"
"kan tadi sudah dibayar mbak,"
"oh!" aku berpikir lelaki senja itu cuma bercanda tadi.
"jadi ceritanya saya lagi LUCK ya hari ini?" tanyaku pada semua pelayan yang ada.
"iya mbak . . ."
"beliau itu rumahnya dimana-mana mbak. Usahanya juga banyak" satu di antara pelayan itu menjelaskan.
"oh. . .ya sudah. Pulang lah mas" aku keluar meninggalkan rumah makan itu. Setengah sembilan? Harus cepat pulang rasanya. Akhirnya, jam 9 barulah sampai rumah.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)

0 komentar:
Posting Komentar