Membunuh Penderitaan

Atap seng rumah ini benar-benar menggoreskan infeksi yang tak bisa lg disembuhkan. Aku pikir aku bisa tetap bertahan menanti senja yang indah. Tapi, rupa-rupanya semua kamuflase itu harus berakhir. Berakhir karena aku benar-benar telah membunuh penderitaan ini dg tanganku sendiri. Inilah pemberontakan yang tertahan selama seperlima abad. Kini. . . Aku merdeka!!!

Sekarang aku tidak lg menanti senja. Aku lelah dan kalah. Oh, kemerdekaan. Baiklah aku mulai semuanya dari kehancuran.

"hey Gadis, benar semuanya?" Kuntowijoyo mengejar aku yang membawa banyak sekali buku.

"ya," jawabku datar

"mimpimu? Sudah tidak punya cita tuk berguru pada Frudental di Utrecht? Atau sekedar pergi ke kota tempat melabuhkan mimpimu?" Kuntowijoyo seolah meragukan keputusanku.

Aku membelalakkan mata. Menatap lekat mata tuanya yang penuh provokasi atas keputusan kehidupanku, dg amarah aku berkata "persetan dg mimpi2 itu. Aku tidak peduli." ku katakan lg padanya dg suara yg sedikit terkendali, "sudah tidak ada lg senja pak. Sekarang aku menunggu pagi. Disanalah harapanku. Tolong jangan ikuti aku lg. Aku ingin sendiri. Aku mohon... " aku pun berjalan maju tanpa menoleh sedikitpun pd Kuntowijoyo yg berdiri di belakangku yang tak lg melangkah mengikutiku.

Semua akan baik-baik saja. Aku bisa!! Aku bisa melupakan desain hidup yang selama ini kujadikan peta. Aku akan merancang peta baru yang tak penuh kesombongan dan keegoisan. Aku harus memikul beban sekarang. Mengkandaskan mimpi demi kebahagiaan orang2 yang tercinta ternyata menyakitkan hati. Kenapa? Kenapa aku masih juga sulit merelakan semuanya.

Bagaimana ini Rindu? Kau mungkin tahu arti linangan air mata ini walau tanpa ada kata tuk menjelaskan. Dan kau Cinta. . .akan tetap menjadi penghibur di sela-sela kepiluan. Dan untukmu, Umair. . .aku tidak akan pergi bersamamu menuju kota itu. Kau boleh mengatakan aku kalah tapi aku memilih kebahagiaan dg melepaskan diri dari rumah bocor itu.

Aku sedang tidak terpuruk juga tidak sedang putus asa. Aku hanya sedikit sedih dan banyak menangis. Dan untuk saat-saat seperti ini tak ada teman terbaik selain Engkau, Robby. . .

0 komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger