Merah darah di Laut Jawa

Aku merapat pada rindu yang kian lesu terkikis samudra waktu. Rindu yang jatuh di jurang pilu kini makin menusuk sembilu. Aku hanya rindu. Rindu pada cinta yang membawa bahagia di gubuk-gubuk sederhana.

Di muara cinta ini kita saling merindu. Lupakah? Lihatlah sejenak perahu-perahu yang bergoyang-goyang ditiup riak air. Tenang dan menenangkan bukan? Kau jatuhkan cinta di samudra biru yang mendayu. Itu mengalahkan keangkuhan ras dan kesukuan di dada kita.

Membekas cinta ini. Menancap kokok seperti mangrove menaungi lobster para nelayan. Dengan lobster ayah akan membagi-bagikan cinta di gubuk sederhana bersama istri dan anak-anaknya atas lobster jumbo 40cm tangkapannya. Sudah menguap rupanya rasa cinta itu. Hilang musnah seperti setetes air di atas tembaga yang dipanaskan. Rupanya kita tlah melupakan banyak pelajaran mengenai hati nurani. Kini keresahan merajai diri. Takut tiada tenang menjalari palung hati. Betapa pilu merajuk ingin segera terobati.

Perahu cinta ini. . .yang kita gunakan puluhan tahun telah bocor dimana-mana. Kita lupa diri. Mengikuti itikad ingin yang tiada berhingga ternyata berujung merana. Melupakan lobster 40cm, kakap merah, rajungan bahkan ikan tuna untuk keangkuhan fatamorgana. Oh tambang cinta di laut jawa yang masih melimpah kita gadaikan dengan empat mayat mengapung. Menghiasi biru air dengan anyir darah ayah.

Lalu? Berlari-lari kita dikejar anjing berseragam. Gagap menterjemahkan kepongahan ini. Ya, berlari karena melihat tangan kita yang nista atau mengingkari apa yang sudah jadi. Ah, jiwa kita tak bisa ambil putusan. Ambigu!! Ambigu apa yang telah kita buat.

Mungkin saatnya berhenti sejenak. Kita benahi yang sudah dengan mendaki gunung jati. Kita teropong birunya laut jawa dengan ketenangan dari tanah sunan ini. Warna merah itu adalah pelajaran hidup untuk kesabaran ayah. Kelaparan kemarin hari adalah hikmah yang dapat dipetik bagi anak-anak yang tak menghargai nikmat Illahi.

Ada apa ayah? Masih jua kau resah mengarungi laut? Ombak telah berhasil kau gulung. Cobalah berdamai dengan nurani sendiri. Lupakan egoisme itu ayah!!

Laut jawa yang indah dan muara ini adalah saksi rajutan cinta. Rindu kian menggebu pada biru yang tak henti merayu. Layar cinta ini akan berlayar sampai habis waktu.

Ayah, oh ayah. . . Sudahi perang emosi ini. Mari kita selami laut jawa penuh bahagia dan jangan ada lagi mayat laki-laki mati sia-sia. Agar tak ada lagi warna merah menodai teduhnya biru yang mendinginkan dasar hati.
Ayah, oh ayah. . .pulangmu dinanti. Agar genap bahagia di rumah petak pelipur hati.

#####


Layaknya batu karang yang butuh ribuan tahun oleh gerusan ombak untuk terkikis. Sama jua dengan kekokohan hati yang butuh ribuan tahun untuk melupakan ceceran darah yang sangat anyir dan menjijikkan serta air mata selama ini. Tak bisa lagi kau permainkan walau jutaan rayuan kau luncurkan. Selesai sampai disitu saja. Semua yang sudah tak kan pernah terulang. Mungkin benar aku yang egois tapi aku sangat bodoh jika harus percaya dengan janji yang irasional. Sebuah kekosongan hanya membawa harapan makin perih.

Apa yang telah mereka semua lakukan? Kenapa derita harus ditanggung jua olehmu Ayah? Bagaimana mungkin harga nyawa di laut jawa dilelang dengan sangat menjijikkan. Berapa? 1juta? 500ribu? 200ribu? Bahkan 5ribu? Ayah pulang saja tak perlu turut campur dengan urusan bodoh macam itu. Kenapa? Kenapa lelang nyawa makin turun harga? Tidakkah seperti tumpukan harta karun yang Ayah temukan di laut Cirebon yang makin tinggi harganya jika dilelang? Ah, sudahlah Ayah!! Aku ingin kau pulang saja. Penegak hukum lulusan SMA itu hanya bisa menyalahkan rakyat jelata yang tak mengerti aksara. Mereka hanya mengerti cara menilang di jalan raya. Tak cukup mengertilah tentang menjaga karang dan mutiara di laut jawa ini. Lempari saja! Iya lempari dengan ubur-ubur agar mereka tahu tingkah mereka itu sangat menggelikan.

Ayah. . .oh Ayah. . .kenapa tak jua pulang hingga selarut ini? Jam dinding makin terasa detaknya. Kapan akan pulang? Sidang macam apa yang tengah dijalankan? Ibu termangu menunggu dirumah. Mencoba tegar tapi tak bisa. Dan menatap wajah buah hati kita membuat derita makin lara.

Semalam ibu tak tidur. Menanti. Berharap pintu diketuk olehmu ayah dan akan ku sambut pulangmu dengan bahagia. Tapi tak ada ketukan pintu sampai mentari menyeruak dari singgasananya.

"ayah keman se bu? kapan ayah pulang bu?" Aisyah kecil bertanya.

Oh, apa yang harus ibu jawab Ayah? Gadis kecil kita bertanya kemana ayahnya dan kapan ayahnya akan pulang?

"sabar ya Ais. Ayah sedang mengarungi laut jawa bahkan samudra. Ayah pasti pulang."

"kapan bu?"

"emm. . .kapan ya? Secepatnya. Untuk bertemu dengan Ais."

"masa? Ketemu Ais?"

"tentu! Karna Ayah pasti rindu dengan Ais"

agak siang Ayah pulang dengan nafas tersengal. Tampak lelah. Membela yang haq itu tak semudah membalikkan telapak tangan. Itu yang Ayah bilang. Hidup ini . . . Akan bahagia walau tanpa sedan apa lagi istana menawan. Tapi, harta yang terindah adalah Ayah yang selalu meniti jalan kebenaran walau dengan tersengal. Ibu yang selalu sabar dalam dukungan walau badai menyambar. Kita berkumpul lagi senja ini. Ya, di rumah bocor yang tetap indah karena ada ketentraman dan jutaan harapan disana.

"Ayah, aku ingin jadi Profesor dan hafal Al-qur'an," Ais bercerita penuh semangat pada Ayahnya.

Ayah dan Ibu tertawa mendengar celotehan gadis kecilnya. Oh bahagianya... Inilah rona senja itu. Indah dan mententramkan. Dan kebahagiaan ini tak bisa dicuri oleh penguasa sekalipun.

0 komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger